REPUBLIKA.CO.ID, Ibrahim Muhammad al-Jamal berpendapat, hak asuh ayah sebenarnya tidak tertutup sama sekali. Ada kalanya, ayah justru lebih arif dan lebih tahu akan kebutuhan sang anak. Jadi hal itu bisa diatur, sekalipun anak tetap berada di sisi ibunya dan tetap dalam pemeliharaannya.
Hanya saja, menurut al-Jamal, pengasuhan terhadap anak yang masih kecil, sebaiknya tetap diprioritaskan kepada ibu. ''Pada hakikatnya, wanita manapun sama dalam cintanya kepada anak, perhatian terhadap keselamatannya serta pembelaannya terhadap bahaya yang mengancam anak,'' papar al-Jamal dalam bukunya berjudul Fikih Wanita.
Berbeda halnya apabila sang anak sudah mumayyiz (sudah berusia 12 tahun). Penentuan pengasuhan diserahkan kepada pilihan anak sendiri, apakah ingin bersama ayah atau ibunya.
Meski begitu, sebagian ulama berpandangan agar hakim sepatutnya tak begitu saja menyerahkan pilihan kepada anak.
Hakim pengadilan agama diminta untuk melakukan penelitian lebih dulu mana yang lebih bisa membawa maslahat bagi anak tersebut. Jika hasil penelitian menunjukkan ibu lebih dapat dipercaya dalam memelihara anak, maka sebaiknya pengasuhan diberikan kepada ibu, atau sebaliknya.
''Dan hakim bisa mengabaikan pilihan anak demi kepentingannya di masa depan,'' ungkap Imam Asy-Syaukani. Sejatinya, Islam mengatur pemeliharaan anak sedemikian rupa, karena menginginkan yang terbaik. Anak yang terlahir ke dunia sebagai titipan Allah SWT, harus dipelihara dengan sungguh-sungguh, baik oleh orangtua maupun kerabatnya.
Sementara bagi anak yang yatim piatu dan tidak pula memiliki kerabat, pemeliharaannya menjadi tanggungan negara. Menurut al-Jamal, pemerintah akan menunjuk siapapun yang cakap untuk memeliharanya. Sesungguhnya anak adalah titipan dan amanah dari Sang Khalik yang harus dijaga dan dibesarkan dengan penuh cinta dan kasih sayang.
Sebuah perceraian tak boleh merugikan anak-anak, yang akan menjadi penerus di masa depan.