REPUBLIKA.CO.ID, Ada hak dan kewajiban bagi suami istri yang wajib dipenuhi. Bagi suami, ia berkewajiban memberikan nafkah lahir dan batin. Namun, ada kalanya hal itu tidak bisa berjalan dengan baik. Karena satu dan lain hal suami tak lagi mampu memenuhi nafkah batin, misalnya. Penyebabnya bisa akibat sakit yang berkelanjutan atau hilangnya fungsi kejantanan (maaf, impoten). Kondisi tersebut, dalam beberapa kasus, bisa memicu disharmoni keluarga. Lantas, bagaimana pandangan fikih Islam menyikapi hilangnya kemampuan suami menaf kahi batin istrinya?
Syekh Kamil Muhammad ‘Uwaidah dalam bukunya yang berjudul Al Jami’ fi Ahkam An Nisa (Fikih Wanita) menjelaskan sikap dan pendapat para ulama fikih terkait hukum suami impoten.
Menurut Ibnu Hazm, bila suami tak lagi mampu memberikan nafkah batin maka tidak diperbolehkan bagi seorang hakim atau orang lain untuk menceraikan keduanya. Hal ini karena status perempuan yang ia nikahi tersebut masih istri sah. Bila berkehendak, suami memiliki dua opsi, yaitu antara mempertahankan pernikahannya atau menceraikan istrinya tersebut.
Pendapat ini merujuk pada riwayat yang dinukil dari salah seorang tabiin, yakni Sa’id bin al-Musayyib. Menurut tabiin yang wafat 94 H tersebut, pernikahan mereka bisa dipertahankan sampai batas waktu maksimal satu tahun.
Bila dalam kurun waktu itu kondisi suami membaik dan bisa kembali menafkahi batin, pernikahan boleh dilanjutkan dan jika tidak maka hendaknya keduanya diberi opsi cerai. Pendapat ini banyak diamini oleh sejumlah kalangan. Di antaranya, al-Auza’i, al-Laits, Hasan bin Hayyi, Abu Hanifah, Malik, dan Syafi’i.
Namun demikian, secara detailnya terdapat perbedaan di kalangan mazhab. Mazhab Hanafi berpandangan, konteks riwayat Sa’id bin al- Musayyib itu berlaku bila sang suami memberikan nafkah. Jika tidak memberinya dan istri masih gadis maka perlu kiranya beberapa wanita lain menilai, apakah ia pernah dikumpuli suami atau tidak. Sedangkan, apabila sudah janda maka keputusan bergantung pada suami dan tak perlu menunggu waktu satu tahun dan tidak juga dapat diceraikan orang lain di antara keduanya.
Sedangkan, mazhab Maliki berpendapat, keputusan berada di tangan suami disertai dengan sumpahnya, jika ia benar-benar mengaku telah menggaulinya. Sedangkan, Mazhab Syafi’i berpandangan, keputusan berada di tangan suami di sertai dengan sumpahnya jika ternyata ia tidak pernah melakukan persetubuhan dengan istrinya maka istrinya dimintai sumpah dengan selanjutnya keduanya diceraikan. Jika kesaksian dari beberapa wanita menyatakan ternyata berdusta dan sang suami bersumpah bahwa ia telah menyetubuhinya maka wanita itu tetap menjadi istrinya.
Menurut Abu Tsaur, bila seorang suami mengalami impotensi maka diberikan waktu tungu bagi kelangsungan rumah tangganya. Kemudian, keduanya dapat diceraikan meskipun suami tersebut sudah menggaulinya. Sebuah riwayat dari ‘Urwah bin Zubair menyebut Aisyah pernah memberitahukan kepada Rasulullah bahwa Rifa’ah al-Quardzi telah menceraikan istrinya. Kemudian, istrinya menikah dengan Abdur rahman bin Zubair.
Aisyah berkata, “Demi Allah, apa yang ada padanya hanya seperti ujung kain ini-ia me megang ujung kain jilbabnya-lalu Rasulullah pun tersenyum sembari tertawa dan bersabda, ‘Barangkali kamu ingin kembali kepada Rifaa? Tidak boleh, sehingga kamu merasakan madunya dan ia merasakan madumu.’” (HR Muslim).