Selasa 12 Feb 2013 14:30 WIB

Wahai Muslimah, Begini Tata Cara Mengganti Puasa Ramadhan

Rep: Nashih Nasrullah/ Red: Endah Hapsari
Puasa Ramadhan (ilustrasi)
Puasa Ramadhan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Dispensasi diberikan kepada orang-orang tertentu yang berhalangan menjalankan puasa Ramadhan. Mereka berkewajiban menggantinya pada hari-hari di luar Ramadhan sebelum Bulan Suci itu kembali datang pada tahun berikutnya.

Menurut Prof Abd Al Karim Az Zaidan dalam Kitabnya yang berjudul Al Mufashal fi Ahkam Al Mar’at, para ulama sepakat, qadha atau mengganti puasa pada lain hari hanya berlaku bagi mereka yang berada dalam perjalanan ataupun menderita sakit.

Perempuan haid dan nifas juga mendapatkan kompensasi atas puasa yang ditinggalkan akibat dua perkara tersebut. Tetapi, qadha tidak berlaku bagi mereka yang dengan sengaja membatalkan puasanya, seperti bersenggama bagi suami istri.

Seusai Ramadhan, Rasulullah SAW menganjurkan untuk berpuasa sunah enam hari Syawal. Ini tertuang dalam hadis riwayat Muslim dan Tirmidzi dari Abu Ayyub Al Anshari. “Siapa yang berpuasa Ramadhan dan melanjutkannya dengan enam hari pada Syawal maka itulah puasa seumur hidup.”

Mazhab Hanafi mengatakan, qadha puasa tidak mesti dibayar secara langsung seusai Ramadhan. Waktu pelaksanaannya cukup luas. Karena itu, mazhab yang berafiliasi pada Imam Abu Hanifah tersebut membolehkannya mutlak. Ini juga merupakan salah satu riwayat pendapat dari Ahmad.

Dalam pandangan Mazhab Maliki dan Syafi’i, kebolehan tersebut tidak berlaku mutlak. Ada unsur makruh di sana.

Ini lantaran berpuasa sunah Syawal berdampak pada kesibukan menjalankan ibadah sunah sementara puasa qadha tertunda.

Argumentasi kelompok pertama ini merujuk pada ayat 185 surah al-Baqarah. Ayat itu tidak mem berikan batasan waktu kapankah qadha tersebut mesti dibayar. Ini diperkuat dengan riwayat Bukhari Muslim dari Aisyah. Istri Rasulullah tersebut mengqadha puasa semampunya tanpa harus dibatasi waktu. Tetapi, ia tidak membayar puasa Ramadhan ketika Sya’ban tiba.

Sedangkan, menurut kelompok kedua, yaitu Mazhab Hambali, haram hukumnya berpuasa sunah Syawal sementera ketika itu ia belum membayar puasa Ramadhan yang terlewat.

Pendapat ini merujuk pada hadis lemah riwayat Ahmad dari Abu Hurairah. Riwayat ini menyatakan, mereka yang berpuasa sunah sementara masih berutang puasa wajib maka puasanya itu tidak diterima.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement