Kamis 14 Feb 2013 11:11 WIB

Mengapa Makin Banyak Istri Menggugat Cerai?

Rep: Agus Raharjo/ Red: Endah Hapsari
Selingkuh (Illustrasi).
Selingkuh (Illustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Perceraian. Tak ada satu pun pasangan menikah yang menginginkan hal ini terjadi pada mereka. Namun, jalan perceraian kerap ditempuh lantaran pasangan suami istri merasa tak mungkin lagi melanjutkan kebersamaan mereka.

Yang mengejutkan, ternyata makin banyak saja pihak istri yang memilih mengajukan gugatan cerai terlebih dahulu. Direktur Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Abdul Djamil mengatakan, adanya kesetaraan gender memang membuat posisi tawar kaum perempuan atau istri meningkat.

Bisa jadi, kata dia, hal itulah yang memicu perempuan berani menggugat cerai suaminya. “Kalau dulu, suami ngomong cerai, istri ketakutan. Sekarang, banyak istri yang justru menjawab, kapan?”

Sebenarnya, apakah fenomena di balik itu? Ketua Umum Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) Khofifah Indar Parawansa, perceraian yang banyak terjadi karena gugatan pihak istri tidak semata-mata disebabkan oleh kesetaraan gender. “Berdasarkan data di lapangan, penyebab pertama kasus perceraian karena adanya ketidakharmonisan keluarga,” ungkap Khofifah. “Turunan dari ketidakharmonisan keluarga ini adalah perselingkuhan.”

Walau demikian, harus diakui perempuan sekarang semakin terdidik dan mandiri secara ekonomi. Mereka juga kian berani beragumentasi. “Di saat adu argumen, masing-masing pihak harus mampu menahan ego. Artinya, pola komunikasi yang terbangun harus two way traffic atau dua arah. Harus dengan musyawarah penyelesaian konflik,” kata Khofifah.

Berdasarkan data Fatayat NU, sebanyak 59 persen gugatan cerai memang dilakukan oleh perempuan. Dari 59 persen tersebut, 48 persen perceraian dipicu karena kasus perselingkuhan. Selebihnya, dipicu oleh kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Rupanya, perkembangan teknologi komunikasi juga turut berpengaruh. Tidak jarang, banyak kasus perselingkuhan dan perzinahan terjadi karena mudahnya berkomunikasi secara “privat”. “Kemudahan 'berselingkuh' itulah yang tak jarang membuat keharmonisan rumah tangga hancur,” ujar pengamat media Zaim Uchrowi.

Walau demikian, lanjut Zaim, media sebenarnya bersifat netral sesuai dengan tujuannya sebagai alat penyampai informasi. Tapi, kenetralan media itulah yang membuat pengaruh negatif ikut terbawa, terutama bagi keluarga yang lemah secara multidimensi.

Artinya, keluarga tersebut tidak memiliki daya saring dan tidak kritis pada informasi yang disampaikan media. Tayangan di televisi, misalnya, dianggap sebagai kebenaran. Hal itu sangat berpengaruh pada nilai dan cara pandang keluarga.

Menurut Zaim, kemajuan teknologi informasi seperti keberadaan media sosial memperparah keadaan masyarakat yang rentan pengaruh negatif. Naluri primitif untuk curhat sangat dipermudah dengan teknologi komunikasi.

Akibatnya, banyak persoalan internal keluarga dapat disebar ke banyak pihak. Hal itulah yang memperumit persoalan. “Perselingkuhan juga menjadi lebih mudah terjadi,” ujarnya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement