REPUBLIKA.CO.ID, Ulama berbeda pendapat mengenai hukum menjamak shalat karena alasan keberatan dan ketidakberda ya an pada saat menetap atau sedang ti dak bepergian. Pendapat pertama me ngatakan, ibu hamil tidak boleh menjamak shalat dengan alasan tersebut.
Pandangan ini disampaikan oleh para ahli fikih dari Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan sebagaian besar pakar fikih. Di kalangan Mazhab Hanafi, secara khusus, sebagaimana dinukil Ibn Al Hammam dalam Syarah Fath Al Qadir, selain di dua tempat, yaitu Arafah dan Muzdalifah, tak boleh menjamak shalat bagi ibu hamil.
Sedangkan, menurut kelompok kedua, ibu hamil diperbolehkan menjamak shalat karena dua alasan di atas. Pendapat ini banyak disuarakan oleh ulama dari Mazhab Hanbali dan Al Qadhi Husain. Sebagian ulama hadis juga memilih pendapat ini. Akan tetapi, mereka memberikan satu syarat, yaitu tidak menjadikan dua alasan, yaitu masyaqqahdan dha’f, sebagai pembenaran untuk selalu menjamak shalat.
Adapun dalil yang dijadikan dasar oleh kelompok pertama, antara lain, hadis riwayat Jabir bin Abdullah. Dalam hadis tersebut dijelaskan, Jibril shalat dan menjadi imam bagi Rasulullah SAW selama dua hari berturut-turut. Usai shalat, Jibril menjelaskan kepada Rasulullah tentang waktu pelaksanaan masing-masing shalat dan tak ada keterangan tentang boleh atau tidaknya didahulukan atau diakhirkan waktunya.
Sedangkan kelompok yang kedua menggunakan hadis riwayat Ibnu Abbas dengan perawi salah satunya Habib bin Abi Tsabit. Hadis yang dinukil dalam Kitab Sahih Muslim tersebut mengisahkan bahwa konon Rasulullah SAW pernah menjamak antara shalat Zhuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya. Hal itu dikerjakan Rasulullah saat berada di Madinah dalam situasi normal. Bukan dalam keadaan berperang ataupun tengah turun hujan.
Lantas, Ibnu Abbas pun ditanya apa alasan Rasulullah menjamak shalatshalat tersebut. Ia pun menjawab bah wa apa yang ditempuh oleh Rasulullah bertujuan agar tidak memberatkan umatnya. Imam Ahmad bin Hanbal pun kemudian mengomentari hadis riwayat Ibnu Abbas tersebut. Menurutnya, ketentuan ini merupakan dispensasi bagi mereka yang sakit dan menyusui. Termasuk dalam kategori ini ialah mereka yang mendapati kesulitan dan ketidakberdayaan. Dan, kondisi hamil, termasuk satu dari ke sekian bentuk kesulitan berhak atas rukhsah.