REPUBLIKA.CO.ID, Salah satunya yang dipersoalkan ialah sedot ataupun suntik lemak. Metode ini dilakukan dengan pengurangan ataupun penambahan lemak di bagian tertentu yang diinginkan.
Ia menguraikan, jika sedot ataupun suntik lemak itu tetap dilakukan dengan cara operasi, padahal memungkinkan untuk ditempuh dengan cara alami lainnya maka hukumnya tidak boleh. Ini seperti dinukilkan oleh para pakar fikih kontemporer, seperti Prof Mahmud Ali as-Sarthawi dalam bukunya Hukm at-Tasyrikh wa jarahat at tajmil.
Sedangkan, kasus yang kedua yaitu penyedotan atau penyuntikan lemak melalui jalan operasi pembedahan boleh dilakukan karena alasan darurat. Ini dengan catatan bila tidak terdapat metode lain yang taepat dan hanya ditempuh atas alasan pengobatan. Bukan karena alasan kecantikan atau lainnya. Para pakar fikih masa kini sepakat akan hal ini.
Lain halnya, bila operasi di atas ditujukan unyuk kecantikan atau bukan karena faktor pengobatan. Para ulama berbeda pendapat. Mayoritas ahli fikih masa kini tidak memperbolehkannya. Sedot atau suntik lemat dengan cara operasei pembedaan yang bertujuan bukan untuk pengobatan tidak boleh dilakukan.
Sejumlah nama setuju dengan pandangan ini, antara lain, Prof Muhammad bin Muhammad al-Mukhtar as-Syanqithi, Syekh Yusuf al-Qaradhawi, Syekh Hisamuddin Affanah, Syekh Usamah as-Shabagh, Syekh Adil Abd al-Jabbar.
Kubu yang kedua berpandangan dalam konteks kasus terakhir, hukumnya boleh saja dilakukan dengan syarat tertentu. Operasi itu, misalnya, harus tidak menimbulkan efek negatif bagi pasien, tidak mengubah bentuk fisik yang asli, dan tujuannya bukan untuk penguatan pergantian kelamin. Ini merupakan opsi yang dipilih oleh Prof Muhammad Utsman Syabir dalam risetnya yang berjudul Ahkam Jirahat at-Tajmil.