REPUBLIKA.CO.ID, Tren kecantikan bagi perempuan terus berkembang. Berbagai cara rela ditempuh oleh kaum hawa untuk tetap tampil menarik. Salon kecantikan menawarkan pula berbagai program perawatan tubuh, dari ujung kaki hingga pucuk kepala.
Ingin sedap dipandang mata, sebagian orang mencukur alis di kedua pelipis matanya. Ada yang merapikannya dengan menggunting bagian tepinya, sebagian lagi merasa kurang puas, hingga harus mencukur habis bulu alisnya. Bagaimana hukum memotong bulu alis dalam perspektif fikih klasik?
Prof Abdul Karim Zaidan dalam Al-Mufashhal fi Ahkam al-Marati wa Bait al Muslim mengatakan, para ulama tidak sepakat terkait hukum memotong atau mencukur bulu alis. Perbedaannya ada pada ketidaksamaan persepsi penafsiran hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Masud. Hadis itu menyebutkan laknat Allah SWT atas sejumlah kelompok, salah satunya ialah para pencukur alis mata.
Menurut sebagian ulama, larangan mencabut an-namsh alis itu didasari atas sebuah alasan, yaitu guna mengindari penyerupaan atas para ahli maksiat atau dijadikan sebagai modus penipuan dengan menyamar.
Bila kekhawatiran itu tidak terjadi atau kemungkinannya nihil, tak jadi soal mencabut atau menghilangkan alis mata. Pendapat ini diambil oleh Ibn al-Jauzi. Ini seperti dinukilkan dari kitab al-Iqna. Ia merupakan satu-satunya tokoh dari Mazhab Hanbali yang berpandangan demikian.
Ada juga ulama yang memandang bahwa sebetulnya yang dilarang pada hadis riwayat Abdullah bin Masud tersebut ialah menghilangkan alis mata dengan cara mencabut hingga akarnya. Sedangkan, bila hanya mencukur atau menggunting hal itu diperbolehkan. Ini merupakan pendapat yang berlaku di mayoritas Mazhab Hanbali.
Menurut Mazhab Maliki, larangan itu berlaku bagi perempuan yang tidak lagi diperbolehkan berhias secara muluk-muluk. Mereka, misalnya, adalah istri yang ditinggal mati atau dicerai suaminya. Dengan demikian, hadis ini tidak bertentangan dengan riwayat Aisyah RA yang memperbolehkan menghilangkan alis di wajah.
Di kalangan Mazhab Syafii, menurut Syekh Sulaiman al-Jamal as-Syafii, penghilangan alis diperbolehkan bila yang bersangkutan telah mengantongi izin suami. Tindakan itu ia ambil dengan tujuan mempercantik diri dan tampil menarik guna membahagiakan suami. Bila tidak, hukumnya tidak boleh.
Pendapat tersebut juga berlaku di Mazhab Hanafi. Menurut Ibnu Abadin al-Hanafi, mencabut atau mencukur bulu alis dilarang bila hal itu dilakukan untuk bersolek dan mengumbar kecantikannya di hadapan publik. Jika hal itu dilakukan untuk menyenangkan hati suami yang kurang suka dengan alis, tentu penghilangan alis diperbolehkan.
Imam an-Nawawi mengutarakan, ada pengecualian dari kasus larangan mencabut bulu di bagian wajah perempuan. Yaitu, jika tumbuh kumis ataupun jenggot tipis dan bulu halus di sekitar leher. Bulu-bulu tersebut hukumnya boleh dihilangkan, bahkan dianjurkan.