REPUBLIKA.CO.ID, Diani (36 tahun) rajin mengikuti acara open house sejumlah sekolah di Jakarta Selatan beberapa bulan lalu. Ia mencari satu hal yang spesifik: SD yang menggunakan dua bahasa, Inggris dan Indonesia. ''Anak saya harus bisa mengungkap pemikirannya dalam bahasa Inggris,'' ujarnya menjelaskan pilihannya.
Mencari sekolah untuk anak jelas bukan perkara mudah. Terlebih, tiap sekolah memiliki program unggulan tersendiri. Begitu juga program dwibahasa (dual language). Program ini banyak memikat orangtua yang ingin buah hatinya menguasai bahasa Inggris sejak dini.
Namun, apa jadinya jika anak dimasukkan ke sembarang sekolah dwibahasa? Tanyakan itu pada pasangan peneliti sekolah dwibahasa, David dan Yvonne Freeman. Niscaya mereka akan memaparkan temuan yang mengajak orangtua seperti Diani dan, mungkin juga, Anda, merenung. ''Satu-dua anak yang memang jenius mungkin bisa bertahan,'' ungkap David.
Lantas, bagaimana dengan anak didik lainnya? Berdasarkan riset pakar pendidikan dari Amerika, kebanyakan murid terpantau mengalami kemunduran kemampuan akademik pada saat mereka duduk di kelas lima sekolah dasar. Kemerosotan prestasi akademik itu makin kentara pada masa SMP. ''Sedangkan, pada tahap pendidikan prasekolah dan awal masuk SD, siswa tampak baik-baik saja,'' ungkap David menyitir penelitian Thomas dan Collier terhadap 42 ribu pelajar Amerika dengan bahasa ibu non-Inggris pada 1996.
Fenomena tersebut terjadi pada anak-anak yang menempuh pendidikan di sekolah dwibahasa dengan metode pengajaran subtractive program. Program ini mengedepankan pemakaian bahasa asing sebagai bahasa pengantar. ''Tingkat penguasaan bahasa asingnya memang berkembang tetapi perkembangan akademiknya tetap di bawah standar,'' ujar David yang telah meriset sekolah dwibahasa di berbagai negara.
Penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar acap kali membuat materi ajar menjadi rumit untuk dimengerti. Bayangkan betapa repotnya anak untuk mencerna suatu konsep--sebut saja siklus air--yang diterangkan dalam bahasa asing. Alhasil, siswa gagal memahami konsep pelajaran. ''Dengan kondisi seperti ini, anak tak akan mengerti konsep, merasa tak nyaman dengan ketidakmampuannya, dan sukar mengejar ketertinggalannya,'' ujar Yvonne, profesor di bidang pendidikan bilingual.
Lebih dari itu, metode pengajaran serba-Inggris juga dapat merusak kemampuan anak berbahasa Indonesia. Dengan sendirinya ini akan mencederai tujuan pendidikan. Anak pun akan kehilangan nasionalismenya. ''Padahal, yang kita inginkan adalah anak yang menguasai bahasa asing dan bangga dengan jati dirinya,'' kata Yvonne yang pernah meneliti sekolah dwibahasa di Bahrain, Hong Kong, Meksiko, dan sejumlah negara lain.
Mengetahui fakta itu tidak berarti Anda mesti mengurungkan niat menyekolahkan putra-putri di sekolah dwibahasa. Sebaliknya, coba lihat kembali pendekatan pengajarannya. ''Yang terpenting, di kelas, bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu harus dipertahankan,'' ucap David bersama Yvonne menulis buku Multilingual Classroom dan Dual Language Essentials for Teachers and Administrators.
Pendekatan seperti itu dikenal sebagai additive programs. Jadikan ini sebagai kriteria untuk memilih sekolah dwibahasa. ''Tetapi, program tersebut harus ditunjang pula oleh guru yang berkualitas dan kurikulun yang disusun berdasarkan tema serta konsep ide yang terintegrasi,'' cetus David yang profesor di bidang kurikulum dan pengajaran.