REPUBLIKA.CO.ID, Kebanyakan sibling rivalry atau persaingan kakak adik dialami oleh anak-anak sesuai tahapan perkembangan. Misalnya, pada usia 2-3 tahun anak sedang berkembang keakuannya, ingin dihargai, ingin diakui bahwa mereka nomor satu dan paling disayangi orang tua. Sehingga orang tua penting mengatur trik-triknya. Misalnya: kakak pintar dan bagus dalam hal merapikan pakaian, adik pintar bila bertemu orang langsung bersalaman, sehingga tidak ada pembedaan. ''Kita memperlakukan adik dan kakak sama, tetapi tidak membandingkan atau membedakan,'' kata psikolog dari RS Dr Sardjito/Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM), Dwi Susilowati SPsi, yang akrab disapa Kiki.
Tetapi kadang sibling rivalry itu tidak terjadi saat anak masih balita, melainkan ketika sudah usia SD. Misalnya, anak ingin nomor satu, ingin mendapat perhatian lebih dari orang tua, dan sebagainya. Sibling rivalry juga bisa muncul antar sepupu. Misalnya, ketika pascagempa di Yogyakarta, orang tuanya menampung keluarga kakak/adik yang rumahnya hancur. Dulu ketika berbeda rumah, si anak mau berbagi dengan sepupunya. Tetapi ketika saudara sepupunya tinggal serumah, si anak tidak mau lagi berbagi.
Menurut Kiki, sebetulnya yang penting adalah bagaimana orang tua menyikapi lebih dari satu anak, bagaimana membagi perhatian kepada anak-anak dan menyikapi terjadinya persaingan/kecemburuan tersebut. Namun, sering kali sikap orang tua dengan sadar atau tidak menyuruh si kakak mengalah dengan adik, menyuruh menjaga si adik, karena si kakak sudah besar.
''Sikap itu justru akan menjadikan sikap kecemburuan yang besar si kakak terhadap si adik,'' katanya. Menurut alumni Fakultas Psikologi UGM ini, adalah tidak bijak jika kakak disuruh selalu mengalah. ''Kita harus melihat latar belakangnya penyebab kenapa ramai antara kakak dan adik? Untuk itu harus ada pendekatan lain.'' Apabila kakak dan adik selalu bertengkar, dua-duanya harus salah dan menanggung akibat.