REPUBLIKA.CO.ID, Bagi manusia normal, rumbut akan tumbuh di beberapa bagian tubuh baik yang tampak maupun tersembunyi. Bagian tubuh yang terakhir muncul bulu, di sekitar alat vital, baik lelaki maupun perempuan.
Menurut Prof Abdul Jawwad Khalaf dalam buku berjudul as-Syi'ru wa-Ahkamuhu fi al-Fiqh al-Islami, Islam mengajarkan agar bulu-bulu tersebut dicukur secara rutin. Ini sesuai dengan hadis yang disebutkan oleh Bukhari dari Abdullah bin Umar. Rasulullah SAW menyatakan, mencukur bulu kemaluan termasuk sunah yang dianjurkan dan bagian dari fitrah manusia.
Banyak manfaat dari anjuran ini. Paling utama, soal kebersihan dan kesehatan. Berbeda dengan tradisi yang berlaku di zaman Mesir dan Yunani kuno. Kegiatan mencukur bulu tersebut hanya boleh dilakukan oleh wanita tunasusila. Menurut adat kedua peradaban itu, ketentuan ini sebagai tanda dan identifikasi atas profesi amoral yang mereka lakoni. Kepercayaan itu masih berlaku di sebagian perempuan saat ini. Mereka menganggap, mencukur bulu tak sejalan dengan normal sosial.
Para ulama sepakat terkait hukumnya yang sunah. Tapi, mereka berselisih pandang manakah cara yang dianggap lebih utama antara mencukur atau mencabut. Menurut mazhab Hanafi, sunah yang dianjurkan ialah mencabut. Mazhab Maliki berpendapat, sunah membersihkan bulu di sekitar alat vital tersebut justru bukan dengan mencabut. Selain melalui cara itu, boleh dan sangat ditekankan, seperti mencukur.
Mazhab Syafii membedakan antara Muslimah yang masih muda atau lajang dan perempuan yang sudah lanjut usia. Bagi mereka yang masih muda, mazhab Syafii merekomendasikan cara mencabut, sementara bagi lansia ialah metode cukur.
Metode membersihkan bulu di sekitar alat vital yang utama dalam perspektif Mazhab Hanbali, ialah mencukur. Ini seperti yang dinukilkan dan diamini oleh Komite Tetap Kajian dan Fatwa Arab Saudi. Lembaga ini kemudian mengemukakan deretan hikmah dan manfaat di balik anjuran mencukur tersebut yakni menjaga kebersihan kulit di sekitar daerah vital, membantu meningkatkan pembuluh darah saat hubungan seksual, dan tentunya menghindari penyakit akibat bakteri yang tumbuh dan berkembang di bulu-bulu tersebut. Soal waktu pencukuran, hendaknya dilakukan secara rutin dalam rentang 40 hari.
Namun, soal pembatasan waktu itu Imam an-Nafrani dari mazhab Maliki di kitabnya berjudul al-Fawakih ad-Dawani memandang sangat fleksibel. Tidak perlu terpatok pada 40 hari. Waktunya disesuaikan dengan kebutuhan. Tentunya, tingkat kebutuhannya berbeda antara satu dan lainnya. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Imam al-Iraqi. Dalam kitab Tharh at-Tatsrib, ia mengatakan, tak ada pembatasan waktu kapan harus dicukur. Selama dianggap butuh dan telah memanjang, segeralah mencukurnya, tulisnya.
Eksekusi pencukuran tersebut, kata Imam Nawawi, harus dilakukan sendiri oleh yang bersangkutan. Hal itu tidak boleh dilakukan oleh orang lain kecuali suaminya sendiri, itu pun hukumnya masih makruh. Dalam kondisi tertentu, seperti ketidakmampuan si perempuan akibat sakit atau cacat permanen, pencukuran bulu tersebut boleh dilakukan oleh ibu atau saudari kandungnya.