Senin 27 May 2013 16:56 WIB

Haruskah Mengguyur Rambut Saat Mandi Besar?

Rep: Nashih Nasrullah/ Red: Endah Hapsari
Muslimah/ilustrasi
Foto: lifeofmuslim.com
Muslimah/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Tata cara mandi besar untuk perempuan sebenarnya sama saja dengan pria. Bagaimana dengan perempuan yang berambut lebat. Apa hukum mengguyur dan meratakan keseluruhan rambutnya?    

Prof Abdul Karim Zaidan dalam karyanya yang berjudul ''al-Mufashhal fi Ahkam al-Mar’ati'' menjelaskan ada dua kondisi yang berbeda dengan konsekuensi hukum yang tak sama pula. Pertama, jika Muslimah yang bersangkutan mandi besar setelah berhubungan intim, para ulama sepakat tidak wajib memijat, lalu meratakan (naqdh as-sya’r) air hingga merata ke rambutnya. Ini seperti hadis riwayat Ummu Salamah. 

Di hadis itu, Ummu Salamah pernah bertanya langsung kepada Rasulullah apakah ia harus membasahi keseluruhan rambutnya secara total.  Rasulullah menjawab tidak perlu melakukan hal itu bila disebabkan oleh mimpi besar/ bersenggama. Cukup dengan usapkan air tiga kali ke rambut dan mengguyur saja. “Itu sudah cukup menyucikan,” sabda Rasul. Salah satu hikmah di balik ketidakwajiban tersebut, agar tidak membebani Muslimah. Ini mengingat frekuensi kedua aktivitas itu terkadang sering terulang.   

Tetapi, para ulama berbeda pandangan bila mandi besar itu karena bersuci dari haid atau nifas. Menurut kubu yang pertama, wajib meratakan air ke seluruh rambut dari ujung hingga pangkal rambut. Pendapat ini disampaikan oleh al-Hasan, Thawus, dan sebagian ulama bermazhab Zhahiri, berikut sejumlah tokoh dari Mazhab Hanbali. 

Pendapat mereka merujuk hadis riwayat Bukhari dari Aisyah. Di hadis itu, Aisyah memberitahukan bahwa dirinya tengah haid saat wukuf di Arafah. Usai berhenti dari haid, Rasul mengarahkan Aisyah agar segera mandi dan meratakan air ke seluruh bagian rambutnya. Dari ujung hingga akar. “Ratakan, lalu sisirlah,” kata Rasul. 

Sedangkan, mayoritas ulama berpendapat, hukum meratakan air tersebut cukup sunah, tidak sampai pada level wajib. Opsi ini juga dipilih oleh sebagian ulama bermazhab Hanbali. Menurut mereka, hadis Ummu Salamah itu, tidak hanya menyangkut mandi besar karena bersenggama ataupun mimpi besar. Tetapi, maksudnya juga mandi besar akibat nifas atau haid. Ini diperkuat pula dengan hadis riwayat Aisyah oleh Muslim. Hadis itu tidak menyebutkan kewajiban naqdh, seperti yang diklaim oleh kelompok pertama.         

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement