REPUBLIKA.CO.ID, Dalam mengasuh anandanya, setiap orang tua tentu memiliki pola yang berbeda. Pola asuh good cop and bad cop memo- sisikan satu orang tua sebagai sosok yang berpihak pada anak, meloloskan terus keinginan anak, dan saat harus melarang dia melempar tanggung jawab kepada pasangannya. Bagian melarang, mengatur, atau marah seolah menjadi tugas pasangannya.
Psikolog anak Anita Chandra MPsi mengatakan pola asuh good cop and bad cop sesungguhnya menunjukkan adanya ketidakkonsistenan pola pengasuhan antara kedua orangtua. Situasi seperti ini seharusnya tak terjadi dalam dunia pengasuhan. Mengapa demikian? “Jika orang tuanya berbeda pendapat, anak menjadi tidak tahu mana yang benar atau baik dan mana yang sebaliknya.”
Penerapan pola pengasuhan seperti itu akan membuat anak memihak pada satu orang tua dan memusuhi orang tua yang lain. Bisa jadi anak lebih sayang kepada ayahnya saja karena ayah selalu membelanya.
Di sisi lain, anak juga akan belajar menjadi manipulatif. “Ia memanfaatkan keputusan orang tua yang berbeda untuk menggolkan keinginannya,” tutur psikolog anak dari Klinik Anakku, Kelapa Gading, Jakarta Utara ini. Tidak ada data akurat tentang siapa yang lebih banyak memilih menjadi bad cop atau good cop.
Pada umumnya, ibu seringkali berperan antagonis dan ayah tampil sebagai protagonis. “Dibandingkan dengan ayah, seringkali ibu memiliki dan menerapkan aturan-aturan yang lebih kaku menyusul banyak pertimbangan,” jelas Anita.
Penerapan pola asuh yang tidak konsisten tersebut biasanya dilakukan karena orangtua tidak sependapat atau berbeda pola pengasuhan. Misalnya, satu permisif, yang satu dominan. Kemungkinan lain, adanya keinginan orangtua un tuk diterima oleh anaknya, se hingga dia memilih berperan sebagai good cop.
Sering kali, orang tua menjadi sosok protagonis untuk menebus rasa bersalahnya. Ia meloloskan ke inginan anak sebagai bentuk kompensasi atas ketidakmampuannya memenuhi tugasnya terhadap anak. Entah karena keterbatasan waktu bersama atau kurangnya perhatian. “Ayah atau ibu yang sibuk berat hingga tidak memiliki waktu de ngan anak menjadi permisif agar anak menganggapnya sebagai orang tua yang baik,” urai Anita.
Orang tua yang tidak satu suara akan membuat anak kesulitan untuk belajar mengenai hal-hal yang diharapkan dari dirinya. Di usia balita, ketidakkonsistenan bisa membuat anak kesulitan mem bangun kepercayaan kepada ayah dan bundanya yang berbeda pendapat secara berkepanjangan.
“Kelak, di usia sekolah, anak belajar memanipulasi dan sulit untuk mengikuti aturan,” kata Anita memberi peringatan bahaya penerapan pola asuh good cop and bad cop. Di saat anak berusia dua tahun atau lebih, ia mulai dapat menunjukkan keinginannya.
Ia butuh pandangan orang tua untuk mendapatkan rujukan nilai atau norma keluarga. “Biasanya, perbedaan pendapat tentang pengasuhan terjadi mulai di saat batita dan sangat mungkin belangsung hingga anak remaja,” komentar Anita.