REPUBLIKA.CO.ID, Si kecil yang menginjak remaja tahu-tahu sudah naksir lawan jenisnya, dan ingin berpacaran pula. Adalah pengaruh hormon, kata psikolog Lusi Triyani, yang menyebabkan masa remaja mulai tertarik dengan lawan jenisnya.
Pada masa itu, anak yang menginjak remaja ingin dikagumi, diperhatikan, dipuji dan merasakan kasih sayang dari lawan jenisnya. ''Kamu cantik, cakep, aku sayang kamu, kata-kata itu membuat remaja berbunga-bunga,'' ungkap psikolog dari Bandung ini. Pada masa puber, ada remaja yang memilih tidak mau berpacaran dulu. Tapi ada juga yang ingin menyalurkan emosinya: ingin lebih dekat dengan lawan jenisnya. Tapi, sejauh mana kedekatan mereka itu? ''Nah, ini yang harus dicermati para orangtua,'' kata Lusi.
Menurut Lusi, pada remaja ada perasaan ingin memberikan perhatian yang lebih terhadap lawan jenisnya. Tingkat SMP, remaja sedang mencari identitas diri. Saat itu emosi anak masih labil, masih serba ingin coba-coba. ''Pacaran masa SMP sebenarnya hanya ingin mendapat pengakuan dari teman-temannya (gengnya, red),'' kata psikolog di sebuah perguruan di Bandung itu, ''Dia ingin memamerkan kalau dirinya laku sudah mempunyai pacar.'' Karena itu, Lusi menyebut, pacaran saat SMP biasanya mengobrol, cerita, tertawa-tawa. Biasanya mereka pergi bersama-sama dengan teman-temannya.
Lain lagi masa SMA. Saat itu fisik remaja sudah tumbuh, emosi pun mulai stabil. Masa ini, jelas Lusi, ada rasa ingin berbagi, rasa kangen. Bahkan ada rasa kebutuhan seksual yang ingin dipenuhi, seperti pelukan, dekapan, rasa aman saat berada dekat pacarnya.
Agar memasuki masa puber tanpa kebablasan, Lusi mengingatkan orangtua untuk mempersiapkan diri jauh-jauh hari. ''Orangtua memberi pengertian dan menyampaikan batasan bagaimana berteman dengan lawan jenis.'' Kendati sekilas tampak aman, melarang ketika anak menyukai lawan jenisnya bukanlah sikap yang bijaksana. Kalau orangtua melarang berarti tidak memiliki rasa empati terhadap perkembangan anak remajanya. Sebab, pengaruh hormonlah yang menyebabkan anak seusia itu ingin ditaksir atau menyukai lawan jenisnya.
Sikap otoriter malah membuat anak sembunyi-sembunyi. Mereka akan berpacaran tanpa terpantau orangtua, curhat kepada teman-temannya. ''Ini akan lebih berbahaya,'' ujar Lusi. Karena itu, ibu dua anak ini menyarankan orangtua untuk berempati kepada anak. Saat anak bercerita mulai senang dengan lawan jenisnya, sebaiknya dekati dan rangkul sang anak. ''Ajak bicara bagaimana sih rasanya kangen, anak akan curhat meluapkan emosinya. Empati yang besar akan membuat anak terbuka kepada orangtua,'' papar lulusan Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran Bandung ini.
Kabar baiknya, anak yang bisa meluapkan emosinya kepada orangtua, bisa mengurangi rasa rindu bertemu atau pelukan teman dekatnya. Bila anak sudah terbuka, orang tua dengan kasih sayang menyampaikan nilai-nilai, batasan-batasan bagaimana bila berdekatan dengan lawan jenis. Prinsip dasar yang harus ditanamkan, jelas Lusi, anak harus menjaga diri, jangan berduaan, sebelum Maghrib sudah di rumah, tidak boleh melakukan perbuatan terlalu jauh. ''Hubungan suami-istri hanya boleh dilakukan yang sudah menikah,'' tandas dia.
Selanjutnya, orangtua meminta anaknya mengajak teman dekatnya main ke rumah. Ketika temannya datang, kata Lusi, orangtua harus respek sekaligus mencari tahu tempat tinggalnya, orangtuanya, dan sekolahnya. Kalau orang tua respek, teman dekat si anak akan sungkan dan tidak berani macam-macam. Malah si pacar akan bilang sama anak kita, ibu kamu baik sekali, kita tidak boleh mengecewakan mereka.
Sayangnya, masa 'cinta monyet' anak menjelang remaja kini banyak yang salah kaprah. Lusi melihat tanda-tanda yang sudah pada taraf membahayakan. ''Terutama dilakukan anak-anak yang kurang mendapat perhatian orangtua,'' kata dia.
Ia lantas menunjuk pada penelitian mengenai remaja yang hasilnya sangat mencengangkan: Mereka menganggap seks hal yang wajar dilakukan saat pacaran. Anak-anak SMP sudah berciuman hot, anak-anak SMA sudah melakukan petting. ''Pacaran remaja seperti ini tidak sehat. Biasanya, anak-anak ini tidak mendapat aturan, norma-norma bergaul dengan lawan jenis dari orangtuanya,'' tegas Lusi.
Pacaran tidak sehat, ungkap Lusi, sering juga terjadi jika jarak usia di antara mereka terlalu jauh. Misalkan perempuannya SMP, pacarnya SMA. Anak SMP masih polos, sebaliknya anak SMA sedang bergejolak. ''Kalau tidak mau dicium nanti diputusin,'' katanya mengungkap ancaman yang sering diberikan pada anak-anak perempuan. Padahal, kalau sudah 'dapat' ia bakal ditinggal oleh si lelaki.
Karena itu, Lusi mengingatkan orangtua untuk harus tahu siapa teman dekat si anak. Dan, sebaiknya mereka bermain saja di rumah, tentu dengan pengawasan orang tua. Andaikan pergi ke luar lebih baik bersama orangtua. Misalnya, makan-makan bersama keluarga di luar.