Rabu 04 Sep 2013 10:05 WIB

Si Dia Beda Agama, Apa Saja Risikonya?

Red: Endah Hapsari
Pernikahan/ilustrasi
Pernikahan/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Di sekitar kita, apalagi jika kerap menonton tayangan infotainment di televisi, pernikahan sepasang kekasih yang berbeda agama cukup sering terjadi. Untuk bisa menikah, mereka rela bersusah-payah terbang ke luar negeri lalu menikah di negeri orang. Padahal, dari sisi psikologi dan agama, menikah dengan pasangan yang beda agama, sangat berisiko. Apa saja risikonya?

Dalam pandangan psikolog anak dan perkawinan, Anna Surti Ariani Psi, ada sejumlah risiko yang harus dihadapi pasangan beda agama. Tahukah Anda, risiko itu bahkan sudah muncul jauh hari sebelum memasuki jenjang pernikahan. Saat masih pendekatan misalnya, perbedaan keyakinan itu seringkali menimbulkan masalah. Contoh kecil saja, ketika memilih makanan di sebuah restoran. Pilihan makanan mereka mungkin sekali berbeda karena dalam Islam ada makanan halal-haram, sedangkan di agama lain belum tentu ada aturan itu.

Memasuki jenjang pernikahan , lanjut alumnus Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini, tantangan akan kembali muncul, terutama dari pihak orangtua dan keluarga. Ini karena banyak orangtua yang tidak ikhlas jika anaknya mendapatkan suami atau istri yang berbeda agama. ''Mereka merasa lebih save kalau calon menantunya memiliki agama yang sama,'' kata psikolog yang biasa disapa Nina ini.

Dari sisi hukum yang berlaku di Indonesia, negara kita ini tidak mengenal perkawinan beda agama. Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974 menyatakan,''Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu''. Karena ada aturan seperti ini, maka pasangan berbeda keyakinan biasanya memilih melangsungkan pernikahan di luar negeri atau hanya dicatat di Catatan Sipil.

Andaikan pasangan berbeda agama ini sudah bisa menembus jenjang pernikahan, menurut Nina, bukan berarti jalan mereka aman-aman saja. Justru, perbedaan itu akan semakin tajam, utamanya jika tidak ada ekstra toleransi dan komunikasi yang lancar di antara mereka. ''Kalau tidak ada ekstra toleransi dan saling menghargai, masalah akan terus-menerus muncul dan ujung-ujungnya cerai,'' kata Nina.

Risiko lain yang penting diperhatikan oleh pasangan beda keyakinan adalah nasib anak-anak mereka. Melihat orangtua mereka yang beda agama, kata Nina, awalnya anak-anak pasti bingung. Mereka akan bertanya-tanya,''Kok ibadah ayah dan ibu berbeda.'' Misalkan saja, ayahnya ke gereja, sementara si ibu shalat. Lalu, bagaimana dengan agama yang akan dianut anak-anak?

Apakah dibagi dua, satu anak ikut agama si ibu dan anak yang lain ikut agama si ayah. Atau mereka dibebaskan dulu, sehingga kadang ikut ke tempat ibadah si ayah, juga ke tempat ibadah si ibu. ''Pendek kata, kalau tidak ada persiapan yang matang tentang keyakinan si anak, nantinya kasihan si anak,'' tegas Nina. Apalagi, ada orangtua yang menyepelekan soal agama ketika anak-anak masih kecil. Baru, setelah dewasa dipersilakan memilih sesuai keinginannya. ''Cara seperti ini berbahaya, karena si anak tidak mempunyai identitas diri.''

Kalaupun si anak sudah ditentukan ikut agama ayah atau ibu, lanjut Nina, gesekan masih mungkin timbul. Sebab, kadangkala ada upaya dari ayah atau ibu untuk memengaruhi si anak supaya ikut agamanya. Hal-hal seperti ini sangat berpotensi menimbulkan masalah. Apalagi, kalau salah satu pihak mulai memaksakan keyakinannya kepada si pasangan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement