REPUBLIKA.CO.ID, Perceraian tak selalu menjadi jalan terbaik untuk membebaskan pasangan suami istri dari masalah. Sebab, setelah bercerai bisa saja muncul masalah baru, semisal soal pengasuhan anak atau pembagian harta bersama.
''Mereka yang bercerai suka menghibur diri dengan mengatakan kini merasa lega, sudah bebas. Padahal, pasca perceraian banyak lagi masalah yang harus dihadapi. Jadi, tak semudah itu menempuh perceraian. Harus dipikirkan secara matang,'' kata psikolog keluarga, Anna Surti Ariani Psi. Namun jika upaya untuk menyelamatkan perkawinan menumbuk jalan buntu dan pasangan suami istri sepakat untuk bercerai, ada beberapa hal yang mesti dipertimbangkan dan dipersiapkan. Bagi pasangan yang belum memiliki anak, masalah yang dihadapi pasca perceraian jauh lebih ringan dibanding pasangan yang sudah mendapat keturunan.
Untuk wanita yang belum punya anak misalnya, mungkin perlu persiapan mental terkait perubahan status dari istri menjadi janda. Bagi wanita, kata psikolog yang akrab disapa Nina ini, perubahan status bisa menimbulkan depresi. Hanya saja, masing-masing wanita memiliki cara tersendiri dalam mengungkapkan depresi itu. Ada yang tampak tegar padahal hatinya remuk-redam, ada yang tak mau berkomunikasi dengan siapapun, ada pula yang menangis berhari-hari. ''Karena itu, butuh persiapan mental bagi perempuan yang menempuh perceraian.''
Hal lain yang perlu dipikirkan adalah berkenaaan dengan tempat tinggal. Setelah berpisah dengan mantan suami, apakah akan kembali ke rumah orangtua atau tinggal sendirian. Demikian juga dengan kebutuhan hidup. Bagi wanita yang bekerja tidak begitu masalah, sebab pemasukan tetap ada. Namun, bagi wanita yang sebelumnya tergantung pada penghasilan suami, tentu harus berpikir bagaimana membiayai hidup sehari-hari.
Dari sisi administrasi pun banyak yang harus diurus, semisal pembagian harta bersama. Jika ada rekening bersama atas nama suami atau istri, kini harus dipisahkan. Kalau si wanita memilih pindah rumah, tentu harus mengurus surat pindah, ganti KTP, dan surat identitas lainnya.
Bagi pasangan yang sudah memiliki anak, permasalahan yang dihadapi jauh lebih pelik. Namun sepelik apapun, masalah yang menyangkut anak tetap harus diprioritaskan. Sebab, anak adalah korban tak bersalah dari perceraian orangtua. Hak asuh anak harus dipikirkan secara matang. Anak akan ikut ibu, atau ayah.
Perlu juga dipikirkan bagaimana pendidikan si anak ke depan serta bagaimana pembiayaannya. Jika anak pindah sekolah karena mengikuti ibu yang pindah rumah, sangat mungkin hal ini akan menimbulkan beban bagi anak. Sebab, ia akan mendapat pertanyaan dari teman-temannya, kenapa pindah sekolah. Bagi anak, tentu ini pertanyaan yang sangat tidak menyenangkan.
Selain itu, menurut Nina, anak-anak -- terutama usia TK dan SD -- cenderung mengalami perubahan perilaku pasca perceraian orangtua. Mereka bisa jadi akan lebih rewel, nakal, atau murung. Karena itu, orangtua sebaiknya memberitahu pada guru perihal perceraian yang terjadi sehingga guru mengetahui latar belakang dari anak tersebut.
Menyimak uraian Nina, jelas sekali bahwa perceraian bukan sesuatu yang gampang. Konsekuensinya sangat banyak. Itu mengapa, Nina selalu berusaha 'menyadarkan' para klien-nya yang hendak bercerai untuk menimbang-nimbang kembali untung-rugi dari perceraian. ''Ternyata lebih banyak ruginya.'' Jadi?