REPUBLIKA.CO.ID, Pernahkah anak Anda menangis histeris sambil berteriak? Atau, pernahkah ia menangis sambil berbaring di lantai rumah, menendang-nendang, bahkan menahan napasnya?
Sebagian orang tua pasti akan menjawab, “Ya”. Psikolog Indri Savitri menjelaskan hal tersebut disebut tantrum, yaitu rasa marah pada anak, tapi intensitasnya kuat. Contohnya, menangis menjerit-jerit sambil menggerakkan seluruh tubuh. “Anak dengan tantrum ini tidak bisa mengontrol dirinya, tapi ia dikontrol oleh kemarahannya,” katanya ketika dihubungi Republika.
Menurutnya, tantrum ini merupakan bagian dari proses perkembangan yang dilalui anak. Biasanya terjadi terhadap anak berusia dua atau tiga tahun. Anak usia ini sudah bisa berbicara, namun belum jelas bahasanya. Kosakatanya juga masih minim sehingga kemampuan berbicaranya belum baik.
Sementara, keinginan anak itu banyak. Ia ingin mengekspresikan keinginannya dengan cara lain selain menangis, yaitu, dengan kata-kata dan perbuatan. Selain itu, anak usia ini dari sisi emosinya sudah mulai merasakan banyak modernitas emosi. Bagi orang dewasa, kita sudah memiliki kemampuan untuk mengelola emosi, sedangkan anak usia dua dan tiga tahun ini belum bisa mengelola walaupun kemampuan tersebut sudah mulai ada.
Dan, ketika keinginannya tidak sesuai dengan kenyataan, misalnya ingin bermain, tapi ia mengantuk, ingin tidur, tapi dibangunkan, anak tersebut menjadi kecewa. Karena tidak bisa mengatasi masalah tersebut, akhirnya anak ini frustasi dan kesal. “Jadilah ia mengamuk. Menangis, menjerit- jerit, berteriak, bahkan berguling,” ujar manajer Akademi Sekolah Cikal itu.
Penyebab tantrum
Tantrum sendiri disebabkan beberapa faktor. Salah satunya, karakter diri anak itu. Masing-masing anak memiliki karakter yang berbeda. Ada anak yang terlahir tidak mudah marah atau easy baby. Anak easy baby ini tidak kesulitan berhadapan dengan lingkungan. Sehingga, ia mudah beradaptasi dengan baik.
Namun, ada pula anak yang mudah marah. Anak yang mudah marah akan lebih sering mengekspresikan kemarahannya dengan berlebihan dibanding anak yang tidak mudah marah. Selain itu, faktor lain yang memenga ruhi tantrum adalah pola pengasuhan orang tua. Anak akan mempelajari apa yang ia dapatkan saat sedang marah. Ketika ia menginginkan suatu barang namun dilarang oleh orang tuanya, anak ini akan menangis histeris.
Respons orang tua terhadap kemarahan anak itulah yang akhirnya memicu tantrum ini terus berkelanjutan. Anak berpikir jika ia marah, orang tuanya akan memberikan perhatian. Jika ia menangis tergulingguling, orang tua akan memberikannya hadiah untuk menenangkannya. “Ini salah. Jika anak sedang tantrum, sebaiknya ditenangkan dengan cara lain bukan dengan hadiah,” katanya.
Karena, jika ia marah orang tua menuruti keinginannya, ia akan mengamuk le bih parah lagi nantinya ketika keinganannya tidak sesuai kenyataan. “Kalau tantrum, ia dapat perhatian, dapat apa yang diinginkan. Ini yang harus diubah. Orang tualah yang awalnya tidak sengaja hubung an antara tantrum dan reward karena salah pengasuhan,” katanya.