REPUBLIKA.CO.ID, Jika dihadapkan pada pertanyaan mana yang harus dipilih, bercerai atau terus berselingkuh, psikolog Yati Utoyo mengaku sulit memberikan jawaban yang tegas. ''Menjawab pertanyaan seperti itu memang seperti makan buah simalakama. Apapun pilihan yang kita jatuhkan hasilnya akan menyakitkan,'' kata Yati.
Akan tetapi sebelum kata pisah diucapkan, Yati mengajak untuk jujur kepada diri sendiri. ''Sebetulnya masih ada apa nggak sih rasa sayang dalam hati Anda terhadap pasangan anda?'' katanya. Kalau rasa sayang itu masih ada berarti masih ada juga kesempatan untuk memperbaiki hubungan. Kuncinya adalah saling berkomunikasi. ''Apabila pasangan yang punya affair bersedia menjawab pertanyaan pasangannya mengenai apa yang terjadi sebenarnya, berarti terbuka jalan untuk meraih kembali kepercayaan pasangan,'' kata Yati.
Diakui oleh Yati bahwa komunikasi adalah proses yang sangat rumit. Karena dituntut berbicara jujur. Agar bisa jujur, harus ada motivasi dari kedua belah pihak untuk memperbaiki hubungan. Di samping itu komunikasi juga harus dilakukan pada waktu yang tepat, pemilihan tempat yang mendukung, sikap yang kondusif agar terjadi diskusi yang produktif, dan berempati. ''Tapi bila rasa sayang itu betul-betul sudah hilang, maka pilihan sepenuhnya dikembalikan pada Anda,'' kata Yati. Bila harus bercerai, maka perceraian di usia anak-anak masih kecil lebih baik dibanding ketika anak-anak sudah menginjak dewasa. Karena perceraian orangtua di mata anak-anak yang sudah menginjak dewasa bisa bisa berakibat dua hal.
Pertama, kata Yati, mereka mengerti bahwa daripada kedua orangtuanya saling menyakiti lebih baik bercerai. Artinya mereka bisa menerima perceraian itu meskipun sakit. Kedua, mereka marah. Lalu melampiaskan kemarahannya itu lewat perilaku tidak baik di luar rumah. Ini bisa menyebabkan masa depan mereka hancur. Yati juga menganjurkan, agar anak-anak diajak untuk memahami bahwa pernikahan itu adalah sesuatu yang tidak cuma indah tapi juga rumit. Kebiasaan menutupi perbedaan pendapat di depan anak-anak, kata Yati, sebetulnya adalah kebiasaan yang kurang baik. Karena adakalanya anak-anak harus tahu bahwa kedua orangtua mereka cukup keras usahanya untuk mempertemukan pendapat.
Sebagai contoh, kata Yati, bila sang ibu pulang ke rumah terlalu malam. Lalu sang ayah menyatakan ketidaksetujuannya. Maka diskusi soal ketidaksetujuan sang ayah ini boleh diketahui sang anak yang sudah cukup umurnya untuk tahu. Ini akan menumbuhkan pelajaran kepada sang anak bahwa pernikahan itu tak selamanya indah.
Sekarang ini, kata Yati, para orangtua acapkali memberi dongeng kepada sang anak bahwa indahnya sebuah perkawinan. Sangat jarang diberitahu kesulitan pasangan suami istri mempertahankan hubungan yang memuaskan kedua belah pihak. Lantas kalau sang anak tumbuh dewasa dan menikah, maka bila fantasi keindahan sebuah perkawinan yang selama ini kerap ia dengar tak ditemukannya, maka ia bisa mencari cinta lain di luar perkawinan.