Kamis 21 Nov 2013 12:43 WIB

Mengapa Perceraian Dibenci Allah SWT?

Suami istri membicarakan hak dan kewajiban masing-masing/ilustrasi
Foto: flickr.com
Suami istri membicarakan hak dan kewajiban masing-masing/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Tak selamanya bahtera rumah tangga berarus tenang. Kadang kala, badai menerpa. Tak jarang pula beragam masalah itu memantik kata “cerai” begitu cepat. Biasanya, rentan menerpa pasangan dengan usia pernikahan di bawah lima tahun.  

Maka, imbau Kepala Pusat Litbang Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama Prof Dedi Djubaedi, sebisa mungkin pasangan suami istri menghindari perceraian. Perkara ini memang halal, tapi mengandung dampak negatif alias kerusakan bagi kelanggengan silaturahim dan masa depan anak.

Dedi menyatakan, segala macam bentuk konflik dalam berumah tangga memiliki dampak negatif. “Termasuk perceraian,” paparnya. Keluasan dampak perceraian menjadikan alasan mengapa Allah SWT marah atau membencinya meskipun itu halal. Yang halal sekalipun, termasuk perceraian, tetap dibenci karena dampaknya adalah mafsadah.

Mantan Rektor STAIN Maluku ini menyatakan, Allah pantas untuk marah. “Bukankah Allah tidak suka orang-orang yang merusak (mufsidin),” imbuhnya.

Menurutnya, kehidupan berumah tangga harus berorientasi pembinaan moral dan spiritual. Pasangan suami istri itu harus penuh tanggung jawab dan memiliki spiritualitas. “Nikah bukan hanya pemenuhan kebutuhan jasmani, melainkan ibadah,” papar Dedi.

Dalam banyak ayat Alquran, manusia dijelaskan sebagai ciptaan yang paling sempura, mampu memimpin, dikaruniai akal, sehingga bisa membedakan mana kebaikan dan mana sebaliknya. Manusia memiliki sifat ciptaan lainnya, seperti malaikat dan setan serta hewan. Manusia memilki hubungan Ilahiah dan insaniah yang memilki bermacam macam hawa nafsu dan instrumen penting lainnya untuk menjalani kehidupannya.

Namun, kesempurnaan yang luar biasa itu masih tetap berpotensi untuk terjebak pada persoalan yang bisa memosisikannya pada kualitas terburuk dari sebuah penciptaan. “Setara dengan binatang atau bahkan lebih rendah,” tuturnya.   

Untuk kompleksitas kemanusiaan itulah Allah SWT ciptakan aturan yang juga sempurna dan luar biasa sampai pada aturan perkawinan. Allah gariskan bahwa tujuan perkawinan itu adalah kenyamanan atau “litaskunu ilaiha”. Batasannya berorientasi pada tujuan, seperti harus saling mengenal, mengerti, menyayangi, tepo seliro, peduli, dan menguatkan. “Pasutri harus saling menjaga,” katanya.   

Sayangnya, jelas Dedi, sifat-sifat kemanusiaan yang kontra produktif untuk hidup sakinah itu begitu kuat. Bangunan keluarga sakinah itu runtuh. Di situlah Allah mengatur tensi manusia dengan fleksibilitas yang sarat dengan muatan moral dan spiritual. Pasutri yang bermoral dan berspiritual akan tangguh dan kokoh. Sebesar apa pun permasalahan yang ada, akan meyakini, jika tidak ada lagi jalan yang lapang dan terang, masih ada lorong yang sangat kecil dan lurus. Pada ujungnya, ada istana bahagia, jalan itu adalah kearifan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement