REPUBLIKA.CO.ID, Menikah lalu punya anak. Itu adalah keinginan sebagian besar pasangan suami istri. Banyak yang berhasil mewujudkan keinginan itu. Namun pada saat yang sama, ada pasangan suami istri yang kurang beruntung. Momongan tak kunjung hadir.
Tak kunjung hadirnya momongan dalam sebuah perkawinan, acap kali menimbulkan masalah, walau ada juga pasangan yang bisa menghadapi hal ini secara bijaksana sehingga keharmonisan rumah tangga tetap terjaga. Dalam pandangan psikolog Ike R Sugianto Psi, masyarakat Indonesia yang memiliki budaya senang berkumpul dengan keluarga besar memang sangat mendambakan anak dari hasil pernikahan. Itu mengapa, pasangan pengantin baru kerap mendapat pertanyaan,''Sudah 'isi' atau belum?
Pada pasangan pengantin baru, pertanyaan seperti itu boleh jadi hal yang biasa. Tapi pada pasangan yang telah bertahun-tahun menikah, pertanyaan seperti itu bisa memunculkan rasa tidak nyaman. Bahkan untuk yang sensitif, akan memicu amarah. Ketidakhadiran momongan, juga kerap membuat pasangan suami istri saling menyalahkan. ''Malah, ada juga yang melakukan tawar-menawar dengan Tuhan. Ibaratnya, oke Tuhan, aku akan angkat anak, tapi nanti beri aku anak ya,'' tutur psikolog alumnus Universitas Indonesia ini.
Pada tingkat tertentu, kata Ike, penantian akan lahirnya anak bisa menimbulkan depresi. Tapi banyak juga yang pasrah, menerima, dan berpikir positif. Tapi kalau kembali ke konsep pernikahan, setiap pasangan memiliki konsep yang berbeda-beda. Ada pasangan yang ingin langsung mendapat momongan, ada juga yang ingin menunda, dengan berbagai alasan.
Bagi pasangan yang mengidamkan momongan tapi belum kunjung hadir, menurut Ike, dibutuhkan kedewasaan dari masing-masing pihak. Duduklah bersama dan memikirkan bagaimana yang terbaik untuk keluarga ini. Misalkan, mereka memutuskan untuk mengangkat anak (adopsi), mengikuti program bayi tabung, atau alternatif lain. Ada juga pasangan yang berpendapat, sebelum memiliki anak sendiri, mereka bisa mencurahkan kasih sayang pada keponakan, anak-anak panti asuhan, atau anak asuh.
Pastinya, setiap keputusan yang akan diambil harus dipikirkan secara matang, jangan terburu-buru. Jangan sampai salah satu pihak merasa tidak sreg atau dipaksakan. Misalkan, istri ingin mengadopsi anak, tetapi suaminya tak menginginkan hal itu. Jika dipaksakan, kasihan si anak. Bisa bisa, ia tidak mendapat limpahan kasih sayang dan perawatan secara optimal. Selain itu, ada pula pasangan yang memilih cara ekstrem yakni suami atas persetujuan istri menikah lagi agar mempunyai anak dari istri kedua.
Dari pengamatan Ike, ekspresi kesedihan karena lama tidak mendapatkan anak, biasanya lebih terlihat pada istri. Suami, dalam hal ini, mesti bisa memahami hal ini. Dengarkanlah setiap keluhan si istri. Hibur pula sang istri dalam mengisi hari-harinya agar tetap menyenangkan. Jangan menjadikan ketidakhadiran anak sebagai masalah besar dalam keluarga.
''Sebenarnya yang terpenting adalah bagaimana agar pasangan tersebut menjadikan kehidupan ini tetap bermakna dan kasih sayang bisa diberikan walaupun bukan kepada anak kandung sendiri,'' ujar dosen psikologi di salah satu universitas swasta di Jakarta ini.