REPUBLIKA.CO.ID, Dunia anak-anak identik dengan bermain yang menyenangkan. Santai dan tanpa beban. Ini berbanding terbalik dengan dunia orang dewasa yang penuh tuntutan hidup yang seringkali menimbulkan stres. Namun, siapa sangka di balik wajah polosnya, anak-anak juga rentan terkena stres.
Psikiatri dari Universitas Indonesia Dr Suryo Dharmono SpKJ (K) mengatakan, stres adalah respons mental seseorang dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan. Orang hidup tidak mungkin terhindar dari stres. Namun, stres tidak selalu berarti sakit dan harus dapat diobati.
Dalam taraf tertentu stres bermanfaat untuk mengembangkan kepribadian, ujar Suryo. Menurutnya, ada dua jenis stres yaitu eustress dan distress. Eustress diperlukan untuk menyiapkan individu menghadapi ancaman sehingga dapat berdampak baik jika disikapi dengan cara mengubahnya menjadi sesuatu yang positif. Misalnya, anak takut tidak lulus ujian, maka ia mengatasinya dengan giat belajar.
Sebaliknya, distress adalah kondisi stres yang berlebihan atau berkepanjangan yang bisa merugikan individu. Misalnya, anak takut terhadap guru yang galak lalu ia mogok sekolah. Stres menyebabkan berbagai keluhan psikis seperti mental emosional dan fisik, papar Suryo. Ciri-ciri yang bisa dikenali jika seseorang terkena stres antara lain perasaan cemas, khawatir, ketakutan, gelisah, agresif, emosi labil, cepat tersinggung atau marah, depresi, frustasi, malas, dan apatis.
Suryo menjelaskan, sejak usia di bawah satu tahun, anak bisa mengalami stres dan depresi. Ciri-cirinya gigi tidak tumbuh, kurang gizi atau nafsu makan menurun, tidak pintar atau tidak semangat ketika diajak bermain, rewel atau tangisan yang berkepanjangan, dan tidur gelisah (sering terbangun). Selain itu selalu minta digendong, perilaku agresif, dan menagis ketika orangtua tidak memperhatikannya.
Pada anak yang lebih dewasa, indikator terjadinya stres dapat dilihat dari adanya perubahan perilaku, lebih pendiam, penakut, dan sering mengalami mimpi buruk, terangnya.
Sementara itu Ketua Satgas Ikatan Dokter Anak, DR Dr Rachmat Sentika SpA MARS, menjelaskan, gejala stres pada anak ada tiga. Yaitu gejala fisik, emosi, dan kognitif. Gejala fisik ditandai dengan ngompol, sulit tidur, menurunnya nafsu makan, dan mimpi buruk. Gejala emosi ditunjukan dengan rasa bosan, tidak adanya keinginan untuk berpartisipasi pada aktivitas di rumah maupun di sekolah, takut, marah, menangis, kebiasaan berbohong, dan bereaksi secara berlebihan terhadap masalah-masalah yang kecil. Intinya gangguan tingkah laku, jelas dokter spesialis anak di Rumah Sakit Internasional Bintaro itu.
Sementara itu, gejala kognitif ditunjukkan melalui ketidakmampuan berkonsentrasi atau menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan sekolah dan suka menyendiri dalam waktu yang lama. Anak usia dua atau tiga tahun yang sudah disekolahkan juga rentan stres.Apalagi kalau sudah diajari bahasa Inggris. Jadi sebaiknya anak dilatih bahasa ibu terlebih dulu, kata Rachmat.