REPUBLIKA.CO.ID, Siti Aisyah kaget ketika anaknya, Irawan Andriansyah, yang saat itu masih kelas satu SMP, pulang sekolah dengan pakaian lusuh. “Bu, besok diminta datang ke sekolah jam 10 pagi,” kata Irawan kepada Siti. Ketika ditanya ada apa, Irawan menjelaskan kalau ia habis berkelahi dengan teman sekelasnya lantaran sering diejek.
Menurut psikolog anak, Fabiola P Setiawan, anak mudah terpancing emosinya untuk meladeni temannya yang menantang berkelahi sebab umumnya emosi anak masih labil. “Biasanya di usia menginjak masa remaja, anak lebih mudah terpancing emosi karena kondisi emosi yang labil,” katanya menjelaskan.
Selain itu, kurangnya pembentukan moral dan karakter serta adanya konflik internal juga memicu anak mudah terpancing emosi. Ditambah dengan kurangnya fungsi keluarga untuk memberikan pengetahuan dalam menyikapi masalah semakin membuat anak mudah terpenga ruh. “Penyebab lainnya, karena kurang matangnya anak memutuskan tindakan tepat dalam menghadapi situasi sosial yang ada,” ujar psikolog yang berpraktik di Tamansari Puri Bali di Bojongsari, Depok, ini.
Sebelum itu semua terjadi, sebaiknya orang tua membekali anaknya. Ia menyarankan agar orang tua terlebih dahulu memberikan contoh bahwa bertengkar atau berantem bukanlah cara untuk menyelesaikan masalah. Orang tua pun harus mampu memberi pemahaman bahwa banyak cara damai yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan masalah. Setelah memberikan contoh, orang tua dapat mengajak anak berdiskusi mengenai beragam cara untuk menghadapi peri laku teman yang tidak menyenangkan.
Pembicaraan semacam itu penting diberikan sejak anak masih kecil. Misalnya, sejak masuk sekolah dasar (SD). Sesuaikan konteks pembicaraan dengan usia anak. Tanya terlebih dahulu apa yang menjadi pokok masalah, apa yang anak rasakan, dan ajak anak saling berbagi peng alaman positif. “Waktu ayah seumur kamu, cara-cara yang ayah lakukan adalah menghindari teman yang sering membuat masalah, menghiraukan, atau menemukan teknik berteman yang baik,” kata Fabiola mencontohkan isi pembicaraan.