REPUBLIKA.CO.ID, Para ulama juga menguraikan konsep kufu'. Umumnya, kufu' diartikan kesepadanan antara suami dan istri, baik status sosialnya, nasabnya, hartanya, ilmunya, dan imannya. Akan tetapi sekelompok ulama berpandangan, unsur kufu' yang terpenting adalah iman dan akhlak; bukan nasab, harta, dan lainnya.
Hal itu didasarkan pada firman Allah, Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu. (QS al-Hujurat [49]: 13).
Ayat itu menegaskan persamaan semua manusia. Tidak seorang pun yang lebih mulia dari yang lain kecuali karena ketakwaannya. Itu ditunjukkan dengan menjalankan kewajiban-kewajibannya kepada Allah dan kepada sesama manusia.
Dengan demikian, kata Ibrahim Muhammad al-Jamal dalam Fiqh al-Mar'ah al-Muslimah, laki-laki yang saleh, sekalipun ia bukan dari keturunan orang terpandang, boleh dipilih sebagai calon suami. Begitu pula dengan laki-laki miskin. Ia boleh dipilih sebagai calon suami, sejauh ia pandai memelihara diri dari perbuatan-perbuatan keji.
Sebaliknya, jika laki-laki itu tidak teguh menjalankan agamanya, ia tak pantas dijadikan suami oleh Muslimah yang taat. Ibnu Rusyd, dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid, mengatakan, Tidak ada perbedaan pendapat dalam Mazhab Maliki, bahwa jika ada gadis yang dipaksa orangtuanya untuk menikah dengan laki-laki pemabuk atau fasik, maka ia berhak menolak. Begitu pula jika ia akan dinikahkan dengan laki-laki yang hartanya diperoleh dengan cara-cara yang haram.
Pendapat Ibnu Rusyd itu diperkuat dengan kenyataan bahwa orang pemabuk cenderung kehilangan akal sehat dalam bertindak. Sehingga, sangat mungkin ia akan melakukan tindakan-tindakan kekerasan yang membahayakan keselamatan sang istri.
Lantas, bagaimanakah jika seorang Muslimah baru mengetahui kerusakan moral suaminya setelah menikah? Menurut Mazhab Hanafi, sang istri boleh mengadukan suaminya yang rusak moralnya kepada hakim. Jika si suami dipandang telah bertindak keterlaluan karena membahayakan si istri, maka hakim dapat memberikan hukuman yang setimpal, sebagai sarana pendidikan bagi si suami agar memperbaiki perilakunya. Meski demikian, menurut mazhab ini, si istri tetap belum boleh meminta cerai.
Sedangkan menurut Mazhab Maliki, bila seorang istri mendapatkan perlakuan kasar dari suaminya hingga membahayakan keselamatannya, ia boleh mengadu ke hakim dan meminta cerai. Tetapi hakim boleh mengabulkan permintaan itu, hanya jika ia melihat si istri tidak mungkin bisa hidup lebih baik selama dalam ikatan perkawinan tersebut.