REPUBLIKA.CO.ID, Dalam banyak kesempatan seorang anak kerap mengekspresikan dirinya lewat tangisan. Psikolog anak Ine Indriani mengungkapkan dari hasil pengamatannya, banyak sekali ibu atau orang tua yang melarang anaknya menangis. Menurutnya, melarang anak menangis sebenarnya boleh-boleh saja. Namun, sebelum melarang anak, pertimbangkan faktor usia, apa yang membuatnya menangis, dan cara untuk menghentikannya.
Seperti pada bayi yang belum bisa bicara. Menangis merupakan cara ia berkomunikasi. Lewat tangis bayi mengatakan rasa sakitnya, lapar, haus, tidak nyaman, dan lainnya. Begitu pula dengan balita yang kemampuan berbahasanya masih minim. Perasaan negatif kerap diungkapkan dengan menangis. Misalnya, ketika kesal, marah, atau kecewa.
Anak perlu tumbuh dengan kemampuan mengontrol emosi dan memiliki empati yang baik terhadap orang lain. Karena itu, orang tua perlu memberikan kesempatan kepada anak untuk mengungkapkan emosinya terlebih dahulu. “Termasuk, memberikan kesempatan untuk menangis sehingga dia merasa perasaannya diterima dan dipahami oleh orang lain,” ujar Ine.
Bila orang tua terus-menerus melarang anak menangis, terutama pada balita, anak akan terus-menerus pula menahan emosinya. Akibatnya, kata psikolog yang berpraktik di Jakarta Eye Center Kedoya ini, anak pun tidak bisa mengenali emosinya dan membuat mereka merasa tidak dipahami.
Karena tak bisa mengungkapkan pera saannya serta merasa tidak dipahami, anak akan memendam emosi negatif. Cara menge luarkan emosi yang sesuai pun tidak dipahami anak. Maka, perasaan-perasaan tersebut menumpuk dalam diri hingga akhirnya dapat menyebabkan perilaku negatif. Contohnya, menarik diri, teriak-teriak, mengamuk, memukul, dan lainnya. Rasa tidak dipahami tersebut, dia melanjutkan, membuat anak juga tidak belajar cara me mahami dan berempati kepada orang lain.
Memberikan label anak cengeng termasuk tidak menyelesaikan masalah, membuat anak justru percaya dia seorang yang cengeng. Ine menga takan, perilaku cengeng pun bisa diulang-ulang sebab anak merasa itulah dia.