REPUBLIKA.CO.ID, Hubungan jarak jauh juga hanya akan berhasil pada pasangan yang level independensinya sama-sama tinggi. Kesamaan visi harus menjadi pondasi keluarga.
Kalau suami atau istri memiliki harapan yang berbeda tentang kehidupan berumah tangga, hubungan jarak jauh akan sangat berisiko untuk dijalani. “Misalnya, kalau istri berpendapat menikah berarti harus serumah,” kata psikolog anak dan keluarga, Roslina Verauli.
Jika faktor independensi dan visi sudah sama, suami-istri tinggal membangun komitmen. Bicarakan sedetail mungkin risiko hubungan jarak jauh berikut cara menanggulanginya.
Kemudian lakukan persiapan untuk menjalani kehidupan seperti itu. “Buat pula kesepakatan tentang cara berkomunikasi serta frekuensinya,” saran konsultan pernikahan, Indra Noveldy.
Jadwal untuk bertemu juga mesti diperjelas. Selama dikomunikasikan dengan baik, tak masalah jika waktu pertemuannya tidak menentu. Apalagi, ada faktor biaya yang harus dipertimbangkan. Yang penting selama berjauhan, suami atau istri diminta banyak mendekatkan diri pada Tuhan. Titipkan pasangan kepada Allah SWT, sebagai penjaga sebaik-baiknya manusia.
Di samping itu, perhatikan juga kebutuhan anak. Setiap anak memiliki kebutuhan secara eksklusif untuk intim dengan orang tuanya. Untuk menggantikan posisi ayah, kakek atau paman dapat mengambil peran itu.
Meskipun tak dapat menggantikan figur ayah, mereka paling tidak bisa menggambarkan tokoh laki-laki dewasa. “Jangan lupa mempertimbangkan pembagian peran agar kedua orang tua tetap bertanggung jawab, baik dalam hal pendidikan atau kebutuhan emosional anak,” kata Roslina.