REPUBLIKA.CO.ID, Untuk bekerja dengan efektif, sepertinya tidak mudah diwujudkan. Banyak penghambat yang menghadang: kantor yang jauh dari rumah, jalanan macet, sarana transportasi nggak layak, sampai keasyikan “jalan-jalan” di sosial media.
Distraksi dan tantangannya juga bejibun, dari mulai kita keluar rumah sampai selama kita berada di kantor. Akibatnya, waktu kerja yang seharusnya dimanfaatkan secara efektif terdiskon terus untuk bermacam-macam kegiatan.
Gangguan yang disebutkan di atas sebenarnya tidak semuanya terasa me nyebalkan. Surfing ke situs-situs yang tak terkait pekerjaan atau mantengin sosial media, misalnya, dua hal itu sebenarnya merupakan distraksi buat pekerjaan. Bedanya, hal itu adalah “gangguan” yang menyenangkan. Sehingga, kita tak terasa mengalokasikan waktu yang lebih banyak dari yang kita butuhkan.
Dari rata-rata jam kerja selama delapan jam, umumnya ada satu jam sampai satu setengah jam istirahat makan siang. Sisa lima setengah jam sampai enam jam yang disela-sela itu pun tidak sepenuhnya untuk bekerja.
Menurut konsultan sumber daya manusia dan penulis buku Arvan Pradiansyah, waktu yang efektif untuk bekerja umumnya bagi karyawan berkisar antara tujuh sampai delapan jam setiap hari. Dengan istirahat siang sekitar satu jam, sisa waktu yang tersedia seharusnya tetap dapat dimanfaatkan untuk mencapai target yang sudah ditetapkan.
Sayangnya, saat ini, kata Arvan, distraksi dalam bekerja semakin banyak dan tidak terasa sebagai distraksi. Semua itu pada gilirannya mem buat jam kerja hanya seolah-olah panjang, padahal tidak efektif. Ia menuturkan, perusahaan pada umumnya saat ini banyak mengalami kesulitan untuk memantau seberapa banyak waktu yang benar-benar dipakai bekerja. Apalagi, sekarang beberapa distraksi kerja, seperti sosial media, semua sudah tersedia di ponsel masing-masing.
Untuk kembali dapat meraih waktu kerja yang optimal, menurut Arvan, karyawan yang sedang dalam jam kerja harus tegas. Kita mesti mau dan mampu berkata tidak pada hal-hal yang memang tidak menjadi prioritas.
Masalahnya, ia melanjutkan, banyak orang yang tidak bisa membedakan betul mana yang penting dan tidak penting sehingga proses pengaturan skala prioritas justru menjadi berantakan. Sebagai langkah awal, agar jam kerja efektif, ia mengingatkan agar mengurangi intensitas mengecek sosial media. Kecuali, hal itu benarbenar relevan dengan pekerjaan kita.
Tidak perlu berlama-lama juga kita mengomentari semua hal yang terjadi di dunia maya. Alokasikan waktu khusus saat istirahat jika memang merasa butuh untuk tetap update dengan informasi di dunia maya. “Waktunya pun jangan terlalu lama, 15 menit cukup,” tuturnya. Jangan sampai menelantarkan kewajiban bekerja demi eksistensi.
Selepas makan siang, lanjut dia, ada lah waktu yang disarankan jika ingin mengecek sosial media atau mem balas semua comment dan mention yang muncul. “Barulah sore hari kita menengok berbagai jejaring sosial atau situs yang tak terkait dengan pekerjaan, lagi-lagi tak usah berlamalama,” paparnya.
Dengan begitu, masih banyak waktu yang tersisa bagi kita untuk fokus pada tujuan yang ingin dicapai atau rencana kerja yang memang sudah ditetapkan. Meski setiap orang berbeda dalam menempatkan prioritas kerja, tapi kata Arvan, sudah sewajarnya kita membantu diri sendiri untuk kembali memahami apa yang penting dilakukan dalam hidup dan pekerjaan masing-masing.