REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia adalah salah satu negeri terdermawan di dunia. World Giving Index 2019 bahkan menempatkan negeri kepulauan ini berada di peringkat pertama. Salah satu faktor yang membuat Indonesia berada dalam posisi tersebut adalah tingginya solidaritas sosial di negeri ini. Kontribusi relawan pun menjadi faktor penting yang bisa menunjang citra Indonesia menjadi negeri nomor satu dalam bidang filantropi.
Negeri yang rentan terhadap risiko bencana memang membutuhkan peran relawan. Banjir yang melanda sejumlah daerah dari Jabodetabek hingga banjir bandang di Lebak dan daerah lainnya membuat ribuan relawan mengulurkan tangannya. Mereka bahu membahu terjun dalam melakukan aksi kemanusiaan.
Meski demikian, ada kalanya para relawan tersebut berada pada posisi darurat karena tugas kemanusiaan. Saat waktu shalat tiba, tidak jarang mereka menunda, bahkan meninggalkannya. Sebenarnya, apakah dibenarkan untuk meninggalkan shalat dalam kondisi demikian?
Dr Sa'id bin 'Ali bin Wahf al- Qahthani dalam Ensiklopedia Shalat menjelaskan, berdasarkan ketetapan Alquran, sunah dan ijma' para ulama, shalat itu wajib bagi setiap Muslim yang sudah baligh dan berakal. Kecuali bagi perempuan yang sedang haid dan nifas.
"Sesungguhnya shalat itu merupakan kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang beriman." (QS an-Nisa: 104). Dalam hadis Rasulullah SAW dijelaskan, "Diberitahukan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu dalam satu hari satu malam." (HR Bukhari).
Dalam hadis lainnya, Rasulullah SAW bersabda, "Islam itu dibangun di atas lima pilar. Bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa di bulan Ramadhan dan berangkat haji ke Baitullah bagi orang-orang yang mampu melaksanakannya." (HR Abu Dawud).
Cukup banyak ayat Alquran dan hadis yang menerangkan tentang kewajiban shalat. Hanya saja, perempuan yang sedang haid atau tengah menjalani nifas tidak diwajibkan mengerjakan shalat. Nabi SAW juga bersabda, "Bukan kah jika sedang haidh dia (perempuan) tidak mengerjakan shalat dan tidak juga berpuasa?" (HR Bukhari).
Al-Qahthani menjelaskan, Allah mewajibkan shalat dalam segala keadaan. Ibadah ini tidak menerima uzur (halangan) orang sakit, orang dalam keadaan takut, atau mereka yang sedang bepergian.
Hanya saja, Allah SWT memberikan keringanan dalam beberapa syaratnya. Termasuk jumlah rakaat atau dalam gerakan-gerakannya. Kewajiban shalat ini tidak gugur dari orang yang tetap dalam keadaan berakal. Kita bisa melihat bagaimana kaum Muslimin tetap diperintahkan shalat bergantian dalam keadaan perang dengan cara tertentu.
"Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendiri kan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari bela kangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bershalat, lalu shalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata …" (QS an-Nisaa': 102).
Dilansir Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama, dalam situasi uzur atau bahkan darurat, seseorang hanya diberi keringanan untuk membatalkan shalat atau menunda pelaksanaan shalat dari waktu yang semestinya sebagaimana keterangan berikut.
"Shalat boleh dibatalkan karena ingin membunuh ular atau sejenisnya yang diperintahkan dalam syariat untuk dibunuh karena khawatir kehilangan harta benda berharga dan harta lain nya, karena menyelamatkan orang yang minta tolong." (Lihat Wizaratul Awqaf was Syu`unul Islamiyyah, al-Mausu'atul Fiqhiy yah al-Kuwaitiyyah, [Kuwait, Da rus Safwah: 1997 M/1417 H], cetakan pertama, juz XXXIV, ha laman 51).
Ada juga pendapat yang menyatakan, shalat bisa ditunda jika kita melakukan tindakan darurat berupa evakuasi harta benda korban bencana. Langkah pembatalan atau penundaan shalat dapat diambil ketika seseorang melakukan evakuasi terdapat harta benda atau aset milik korban.
"Shalat juga dapat dibatalkan ketika khawatir pada jilatan api, terbakarnya harta benda tertentu, atau terkaman serigala kepada ternak kambing karena pembatalan shalat karena untuk menolongnya itu merupakan bagian dari penyelamatan jiwa atau har ta benda dan memungkinkan meng ulang shalat tersebut setelah pembatalan." (Lihat Syekh Wahbah az-Zuhayli, al-Fiqhul Is lami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, 1985 M/1405 H], juz II, halaman 37).
Bahtsul Masail NU pun menyarankan relawan bencana tetap menjaga shalat pada waktunya sekiranya upaya evakuasi atas jiwa dan harta benda korban bencana masih bersifat longgar. Ada pun ketika situasi darurat, ketika korban membutuhkan pertolong an jiwa dan harta benda, sementara jumlah relawan begitu terbatas, relawan bencana dapat mengambil langkah penundaan shalat dari waktu yang semestinya. Wallahu a'lam.