Kamis 23 Jan 2020 14:27 WIB

Tata Cara Mengurus Jenazah untuk Muslimah

Mengurus jenazah ada tata caranya.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Muhammad Hafil
Tata Cara Mengurus Jenazah untuk Muslimah. Foto: Ilustrasi petugas mengidentifikasi jenazah.
Foto: Antara/Bima
Tata Cara Mengurus Jenazah untuk Muslimah. Foto: Ilustrasi petugas mengidentifikasi jenazah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap makhluk yang diberi nyawa, suatu saat akan kembali pada Rabb-Nya. Umur manusia pun tidak ada yang mengetahui. Kematian merupakan sebuah misteri dan bisa datang sewaktu-waktu.

Ketika meninggal, dalam Islam dituliskan aturan, syarat, serta cara dalam mengurus jenazah. Termasuk di dalamnya bagaimana mengurus jenazah muslimah mulai dari memandikan, menyolati, hingga menguburkan.

Baca Juga

Untuk urusan memandikan jenazah muslimah, maka wajib diserahkan kepada sesama muslimah. Tidak diperbolehkan seorang laki-laki baik saudara, suami, maupun anak untuk turut serta. Adapun syarat bagi yang ingin memandikan jenazah adalah muslim, berakal, mumayiz, terpercaya, amanah, dan paham atas hukum-hukum memandikan jenazah.

Hukum memandikan jenazah ini fardhu kifayah. Berdasarkan hadis dari Abdullah bin Abbas, "Ada seorang lelaki yang sedang wukuf di Arafah bersama Nabi SAW. Tiba-tiba ia terjatuh dari hewan tunggangannya lalu meninggal. Maka Nabi bersabda: 'mandikanlah ia dengan air dan daun bidara. Dan kafanilah dia dengan dua lapis kain, jangan beri minyak wangi dan jangan tutup kepalanya. Karena Allah akan membangkitkannya di hari Kiamat dalam keadaan bertalbiyah'."

Dikisahkan pula oleh Ummu Athiyyah dalam HR Bukhari, "Salah seorang putri Nabi SAW meninggal (yaitu Zainab). Maka beliau keluar dan bersabda: 'mandikanlah ia tiga kali, atau lima kali atau lebih dari itu jika kalian menganggap itu perlu. Dengan air dan daun bidara. Dan jadikanlah siraman akhirnya adalah air yang dicampur kapur barus, atau sedikit kapur barus. Jika kalian sudah selesai, maka biarkanlah aku masuk.' Ketika kami telah menyelesaikannya, maka kami beritahukan kepada beliau. Kemudian diberikan kepada kami kain penutup badannya, dan kami menguncir rambutnya menjadi tiga kunciran, lalu kami arahkan ke belakangnya."

Beberapa proses atau tahapan memandikan jenazah yaitu pertama jenazah ditempatkan di tempat pemandian yang tertutup dari pandangan manusia lainnya. Kedua di dalam pemandian tidak boleh ada orang selain yang akan memandikan jenazah atau membantu proses pemandian. Selanjutnya meletakkan kain penutup diatas aurat jenazah dari pusar sampai kedua lutut jika mayat laki-laki dan dari dada sampai kedua lutut jika jenazahnya perempuan.

Langkah selanjutnya adalah melepaskan seluruh baju dan membungkukkan jenazah dengan mengangkat kepalanya hampir dalam keadaan duduk. Hal ini dilakukan untuk membersihkan sisa-sisa kotoran di bagian belakang. Membersihkan kemaluan jenazah dengan kain lalu mewudhukan jenazah. Setelahnya membersihkan badan dengan sarung tangan yang lain. Jenazah kemudian disiram dengan buih air sidr (daun sidr).

Dalam memandikan jenazah dimulai dari kanan depan, lalu kanan belakang, kiri depan lalu kiri belakang yang dilakukan sebanyak tiga kali. Selanjutnya menyirami seluruh tubuh jenazah dengan menggunakan air dari kapur barus. Mengeringkan jenazah dilakukan dengan menggunakan handuk.

Bagi jenazah laki-laki rambutnya harus disisir, sementara bagi jenazah muslimah dikepang tiga kali. Terakhir bagi yang memandikan jenazah dan berwudhu bagi yang membawa jenazah disunnahkan mandi setelahnya.

Setelah dimandikan, jenazah wajib dikafani. Bagi jenazah wanita, dianjurkan menggunakan lima helai kain berwarna putih. Mengkafani jenazah adalah sekedar menutup seluruh tubuhnya dengan bagus. Dalam HR Muslim Nabi bersabda, "Apabila salah seorang diantara kalian mengkafani saudaranya, maka hendaklah memperbagus kafannya."

Jumhur ulama berpendapat disunahkan bagi jenazah wanita menggunakan lima helai kain kafan. Namun, hadis tentang hal ini lemah. Maka dalam hal ini perkaranya longgar, boleh hanya dengan tiga helai, namun lima helai juga lebih utama.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata dalam Asy Syarhul Mumti, "Dalam hal ini telah ada hadits marfu' (kafan seorang wanita adalah lima helai kain). Akan tetapi, di dalamnya ada seorang rawi yang majhul (tidak dikenal). Oleh karena itu, sebagian ulama berkata: “Seorang wanita dikafani seperti seorang lelaki. Yaitu tiga helai kain, satu kain diikatkan di atas yang lain."

Perihal menyolati jenazah, hukumnya fardhu kifayah. Bagi yang menjalankan, maka akan menjadi amalan yang besar baginya. Imam Bukhori dari Abu Hurairah menyatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, "Barangsiapa yang menyaksikan jenazah sehingga dia menshalatkannya maka baginya satu qirath dan barangsiapa yang menyaksikannya sehingga menguburkannya maka baginya dua qirath., Lalu Rasulullah ditanya, 'Seberapakah dua qirath itu?', beliau saw menjawab, 'Seperti dua buah gunung yang besar'."

Posisi berdiri iman adalah di tengah-tengah jenazah apabila jenazahnya perempuan dan di kepala jenazah apabila jenazahnya adalah laki-laki. Disyariatkan untuk menshalati jenazah di kuburan jika jenazahnya tertinggal dan terlanjur dikubur.

Tidak ada larangan bagi wanita untuk ikut melaksanakan shalat jenazah. Ummu Athiyah dalam HR Muslim berkata, "Kami pernah dilarang untuk mengiringi jenazah namun kami tidaklah ditekankan (di dalam pelarangan itu)."

Dalam HR Muslim lainnya disebutkan zaman dahulu terdapat kisah mengenai wanita yang melakukan shalat jenazah. "Ketika Sa’ad bin Abi Waqqash meninggal dunia, istri-istri Nabi SAW meminta agar jenazahnya di bawah ke masjid agar mereka dapat menshalatkannya, kemudian hal itu mereka lakukan."

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya, "Apakah seorang wanita dibolehkan berkumpul di salah satu rumah wanita, dan mereka shalat jenazah kepada mayat di rumah itu?" Beliau menjawab, "Ya, tidak mengapa seorang wanita melakukan shalat jenazah. Baik dia shalat di masjid bersama orang-orang. Atau dia shalat (jenazah) di rumah jenazah. Karena para wanita tidak dilarang menshalati jenazah." 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement