REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jalannya praktik wakaf juga berkaitan dengan politik kenegaraan. Misalnya, ketika Raja Shalih bin al-Nasir mewakafkan hartanya untuk sarana di Masjid al-Haram dan Masjid Nabawi.
Termasuk di antaranya biaya pergantian kain kiswah yang menyelimuti Ka'bah dan kain penutup kuburan Nabi Muhammad SAW serta mimbar Masjid Nabawi setiap tahun. Di masa Mamluk pula undang-undang wakaf mulai dis- ahkan. Dengan begitu, wakaf telah menjadi penyangga ekonomi umat yang cukup penting.
Legalisasi melalui undang-undang itu sudah berlaku sejak masa Raja adz-Dzahir Bibers al-Bandaq (1260-1277). Undang-undang ini juga mengakomodasi empat mazhab fikih.
Secara umum, pemerintahan al-Bandaq memasukkan wakaf ke dalam tiga kategori. Pertama, hasil wakaf yang merupakan harta negara yang pemanfaatannya teruntuk bagi orang-orang yang dianggap berjasa kepada negara.
Kedua, wakaf untuk meningkatkan fasilitas di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Ketiga, wakaf untuk kepentingan publik pada umumnya. Efektivitas undang- undang wakaf juga terjadi di masa Kesultanan Turki Utsmani.
Pada 1280, undang-undang wakaf disempurnakan sehingga mengatur soal pencatatan wakaf, sertifikasi pengelola wakaf, dan tata laksana pengelolaan wakaf. Tujuh tahun kemudian, terbit undang-undang yang menegaskan status tanah negara dan tanah produktif wakaf di Turki.