Senin 30 Apr 2012 12:03 WIB

Rp 3,5 Juta untuk Sebuah Surat Pengantar

Ilustrasi
Foto: Antara
Ilustrasi

Memang benar apa yang diucapkan orang bahwa menjadi pengusaha di negeri ini butuh mental baja. Kalau kita punya mental tempe, bakal habislah kita dilibas oleh orang atau kantor dinas atau oknum atau apalah yang justru sering berteriak “Kami support pengusaha kecil, kami support UKM.” Tapi nyatanya mereka hanya menjadi duri.

Itulah yang terjadi saat saya dan Muadzin (http://muadzin.com) berjuang untuk mengurus semua perizinan ekspor kopi Semerbakcoffee (http://semerbakcoffeepremium.com) yang pertama kali.

Pertama-tama kami pergi ke salah satu kantor sebuah ditjen di Jl. Ridwan Rais Jakarta. Setelah mendapatkan sedikit keterangan, ternyata kami diwajibkan untuk memiliki EKS (Eksportir Kopi Sementara) dulu, dan untuk mengurus ini kami diwajibkan untuk meminta surat pengantar/rekomendasi dari sebuah kantor dinas DKI. Itu pun setelah kami diping-pong ke sana kemari.

Meski kami tinggal di Depok yang masuk wilayah Jawa Barat, tapi kantor dinas yang mengeluarkan rekomendasi ini hanya ada tujuh kantor dinas di seluruh indonesia, dan Jawa Barat ikut ke DKI.

Hari itu juga saya dan Muadzin langsung ke kantor dinas itu di wilayah Kelapa Gading Jakarta. Setelah sampai di TKP, saya agak suprise juga, sebagian besar karyawannya nampak begitu santai. Ada yang nonton TV, baca koran, main HP, ngobrol, dll. Tidak ada petunjuk jelas yang menggambarkan bagaimana mengurus surat pengantar ini, juga tidak ada pengumuman berapa biaya yang dikeluarkan.

Setelah agak lama celingukan, akhirnya kami disambut juga oleh seseorang petugas kantor dinas itu, dan memang kami dilayani dengan baik. Tapi justru itu yang membuat saya curiga dalam hati. Kenapa begini ya??

Dan benar saja, di ujung pembicaraannya, orang ini, bilang "Biaya semuanya 3,5 ya pak." Saya jawab "350 ribu pak?" Pikir saya gak masalah lah, itu kan sudah biasa. Tapi kemudian dijawab "Ya gak lah pak, 3,5 jeti." Langsung aja saya kaget, untung saya gak punya penyakit jantung.

Gimana gak kaget coba… hanya untuk sebuah surat pengantar/surat rekomendasi seperti layaknya surat pengantar RW ke Kelurahan, kami diharuskan membayar 3,5 juta..??? Teeeerlaaaaluuuuu..

Kemudian saya ditemukan oleh salah seorang pejabat dinas yang sepertinya seorang atasan di kantor dinas itu. Dan ternyata setali tiga uang, pernyataannya sama. "Yah buat uang jalan anak-anak lah".  Aaaaah, ternyata sama saja.. sistem ini sudah bobrok, hati nurani sudah mati, rasa malu sudah pergi.

Tiga hari kemudian, dua petugas dinas ini mengadakan survey ke kantor Semerbakcoffee, dan harus kami jemput pula. Setelah menanyakan ini itu, foto sana sini, tinjau sana sini, akhirnya survey selesai. Dan harus kami antar lagi ke kantornya di daerah Kelapa Gading. Terbayang kan hebatnya mereka mereka ini..?

Nah ini menariknya... setelah sampai di kantor dinas, saat turun mereka langsung menagih uang yang 3,5 juta itu tanpa rasa malu dan risih. Karena saat itu saya dan muadzin memang belum sempat ke ATM, maka kami bilang "Besok aja ya bu, karena kan kita masih ke sini." Sontak berontak langsung si ibu dinas ini, ngambek dan bilang "Gak bisa pak, harus hari ini karena saya sudah janji dan dititipkan oleh atasan saya." Kemudian saya bilang, "Kalau saya transfer bisa bu..?" Langsung aja dijawab "Gak mau saya".

Dengan terpaksa saya dan Muadzin akhirnya mengelilingi Kelapa Gading untuk mencari ATM. Setelah dari ATM, kami kembali ke kantor dinas itu, ternyata petugas-petugas tadi tidak di tempat. Sambil menunggu "beliau-beliau", kami sempatkan shalat dzhuhur di mesjid yang ada di kantor dinas ini. Setelah Shalat, ternyata kami harus menunggu pula. Dalam hati "Lhaaa kita yang mau kasih uang kok malah kita yang di suruh nunggu, gimana sih..?"

Lima, 10, 15, sampai 20 menit kami tunggu, ternyata belum muncul-muncul juga, sedangkan kami juga harus menuju tempat lain untuk mengurus perizinan yang lain. Dengan wajah sedikit agak kesal langsung saja saya tegaskan bahwa kami tidak bisa menunggu terus, masih banyak yang harus kami kerjakan, bukan cuman menunggu di sini aja.

Akhirnya uang itu pun kami titipkan ke salah satu petugas di dinas itu. Dan tanpa mengucapkan terima kasih, kami pun langsung pergi dengan segala umpatan dan kekecewaan dalam hati kami.

Kami belum tahu apalagi dan berapa lagi nanti yang harus kami keluarkan jika mengurus surat di kantor dinas yang lebih tinggi lagi. Apa uangnya lebih besar dari ini..? Beginikah wajah pegawai-pegawai negeri ini yang katanya adalah "abdi negara, abdi masyarakat” ??

Wahai bapak-ibu pegawai dinas yang terhormat, kami bukan sapi perahan Anda semua. Kami hanya ingin memberikan kebanggaan dan devisa untuk negara ini, kenapa ini perlakuan dan pelayanan yang kami terima?

Iwan Agustian H

Depok

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement