Taiwan dengan 23 juta-an penduduknya dan ukuran negara yang hampir sama dengan Belanda, memang tidak memiliki libur khusus bagi yang merayakan hari besar Islam seperti ini, dikarenakan muslim yang sangat minoritas. Namun, apakah minoritas dari segi jumlah boleh membuat mereka yang mencari ilmu di sini harus meruntuhkan esensi Idul Kurban?
Pukul 07.00 ketika terik belum meninggi, mereka berlepas dari rumah di bilangan Sizihwan bay. Daerah tinggal mereka merupakan daerah pesisir yang dikelilingi beberapa spot (tempat) menarik bagi turis lokal dan internasional.
Di sekitar rumah terdapat Kaohsiung Port (pelabuhan), tempat beberapa kapal pesiar singgah secara periodik. Ada juga Love River (sungai cinta), tempat yang sangat romantis dengan suasana dan fasilitas bersepeda yang sangat nyaman.
Selain itu, juga didapati kampus dengan nuansa scenic dan historis di gunung Cai (Cai Shan) bernama National Sun-Yat Sen University. Kampus yang masuk dalam top 500 ranking kampus dunia ini, terletak tepat di pinggir laut dan hampir semua gedung berada di atas gunung, sehingga pemandangan sekitar kala di kampus seolah melengkapi keindahan pelabuhan dan sungai cinta.
Pukul 8.00 mereka tiba di masjid Kaohsiung untuk melaksanakan shalat Idul Adha. Namun, jika dibandingkan dengan semarak hari besar di negeri sendiri serasa ada yang kurang.
Kala mereka tiba, tidak ada takbir yang menggema sebelum shalat Ied. Sanak kerabat pun seolah tak ada, tapi yang ada yakni saudara-saudara seirama dalam harmoni perantauan. Sebut saja namanya Mas Fauzy yang sudah 9 tahun bekerja di Taiwan dan Mas Surono dengan raihan 4 tahun untuk mencari maisyah (penghasilan). Bersama Alil dan Opi, juga ada Mbak Gina yang telah berada di Taiwan 11 tahun untuk mencari rezeki.
Dengan saudara-saudara baru ini, mereka merasakan jauhnya keluarga namun ukhuwah (persaudaraan) itu tetap kokoh di hari besar ini. Hari yang mengingatkan kita pada pengorbanan Ibrahim a.s dan Ismail a.s untuk menaati perintah Tuhan-Nya.
Imam Hussein adalah imam di Masjid Kaohsiung. Sama seperti kala Alil (Red. ketika masih sendiri) di dua tahun lalu, kala ia merayakan hari raya Idul Fitri di Kaohsiung saat menempuh studi master. Semangat Imam Hussein masih sama dengan campuran tiga bahasa dalam ceramah singkat sebelum khutbah Ied.
Ada pesan tegas yang membekas, bahwa kita semua adalah Mudarris (guru), kita semua adalah da'i (penyeru). Jadi, dimanapun kita berada, sampaikan apa itu Islam dan sampaikan bahwa Islam itu punya kemuliaan (izzah).
Selepas shalat Ied, Alil dan Opi lekas bergegas menuju Taichung guna memenuhi undangan silaturrahim mahasiswa Indonesia di Asia University. Jika Kaohsiung terletak di ujung Selatan Taiwan dengan kehangatannya serta pemandangannya yang khas, Taichung adalah kota di wilayah tengah dengan nuansa bisnis yang semarak namun kebutuhan sehari-hari lebih terjangkau. Sebut saja jika di Kaohsiung dengan 100 NT (+/- Rp 30.000) bisa mendapatkan 6 buah Apel, di Taichung dengan harga sama bisa mendapatkan 8 buah.
Sesampai di Taichung, Alil dan Opi menuju masjid Taichung untuk bertemu kawan lama serta memperkenalkan Opi kepada Pak Imam Abdullah. Maklum saja, sebelum menikah 3 bulan yang lalu, Alil meminta do'a kepada pak Imam, dan sebagai tindak lanjut ia memperkenalkan istrinya kali ini.
Di masjid ini dulu, Alil bersama para rekan menjalin silaturrahim di berbagai organisasi mahasiswa dan pekerja. Idul Kurban tahun ini, seolah silaturrahim itu masih terjaga dan penuh dengan nuansa keakraban di tanah rantau.
Sebelum menuju Asia University, mereka singgah sebentar di rumah Ketua PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) di Taiwan yang juga berasal dari Aceh, Bang Ramzi namanya. Tiap lebaran di Taiwan, tidak sah kalau belum ke rumah Bang Ramzi dengan hidangan khas Indonesia dimulai dari rujak, lontong ditemani rendang. Mereka seolah kembali ke rumah, bukan rumah sebenarnya namun rumah tempat para mahasiswa Indonesia dan yang berasal dari Aceh kerap kali berkumpul dari wilayah Taipei (Utara), Taichung (tengah) hingga Tainan (Selatan).
Sebelum pulang, agaknya Alil dan Opi masih terhitung linto dan dara baro (Red. sebutan dalam bahasa Aceh bagi pasangan pengantin baru). Tak lupa, keluarga Bang Ramzi memberikan sedikit salam tempel seperti adat yang telah berlaku di tanah rencong.
Maghrib pun tiba, mereka segera shalat berjamaah di mushola kecil nan teduh di Asia University. Selepas shalat Isya, semua telah berkumpul dan dikejutkan dengan kehadiran para mahasiswa/i dari Utara hingga Selatan, dari National Taiwan University Science and Technology(NTUST) di Taipei hingga National University of Tainan(NUTN) di Tainan. Sekitar 30-an mahasiswa rantau berkumpul, mendengar tausyiah, makan rendang (lagi) hingga pemutaran film Al-Fatih.
Pukul 20.00, tiba saatnya bagi Alil dan Opi kembali ke sekitaran Love River, tempat di mana rumah mereka berada. Kaohsiung ke Taichung yang memakan perjalanan 2 jam menggunakan bus, seakan tak ada artinya dibandingkan ukhuwah Islamiyah (persaudaraan) di tanah rantau ini.
Teringat satu pesan lagi dari Imam Hussein, "Dari Idul Kurban, kita belajar ketaatan dan pengorbanan dari bapak para Nabi (Ibrahim a.s), pengorbanan yang hanya ditujukan kepada Allah SWT. Hendaknya para kaum muslimin mampu mengelola waktunya di dunia, agar ibadah-ibadah kepada-Nya adalah bagian dari ketaatan dan pengorbanan waktu dan hidup kita untuk-Nya."
Salam hangat dari Kaohsiung.
~Alil dan Opi~
Kahlil Muchtar
Sumber foto Masjid Kaohsiung: panoramio.com