Jumat 04 Jan 2013 06:22 WIB

Inilah Kisahku, 'Mengejar' Shubuh di Rusia

Musholla di Taganski Rinok.
Foto: Muhamad Zainun Najib
Musholla di Taganski Rinok.

Taganski Rinok (Pasar Taganski), pukul sepuluh, meskipun matahari belum keluar dari peraduannya, namun para pedagang pasar sudah dari tadi terlihat sibuk bekerja. Mereka berdiri di depan lapaknya masing-masing.

Beberapa kuli berlari mengangkut barang dari gudang ke kios-kios. Beberapa yang lain menyambut truk kontainer yang mulai memasuki area pasar. Truk ini membawa barang impor berupa tekstil, sepatu atau barang produksi lain asal Cina. Barang-barang made in China masuk ke Rusia melalui perbatasan Cina – Kyrgyzstan untuk selanjutnya didistribusikan ke seluruh penjuru Rusia.

*** 

Aku menelusuri gang-gang di antara kios-kios. Beberapa penjaga kios menyapaku, menawarkan barang dagangan mereka. Namun tidak satu pun dari mereka mampu menghentikan langkahku; Karena pikiranku hanya satu, bagaimana menemukan musholla secepat mungkin untuk sholat Shubuh.

Sudah lima menit aku mencari musholla itu, namun tak juga kutemukan. Redupnya langit musim dingin saat itu telah membuatku kesulitan menemukan tempat sholat yang biasanya. Namun kuyakin tak salah arah.

“Ah, jangan-jangan sudah dipindahkan lagi,” pikirku dalam hati.

Tempat sholat yang kumaksud adalah ruangan segi empat berukuran 4X6 m2  yang sudah dua kali dipindah gara-gara pembangunan pasar. Pertama kali aku menemukan tempat sholat ini, dia berada di tengah-tengah pasar. Kemudian dipindahkan ke bagian belakang pasar. Dan sekarang, aku tak melihatnya.

Aku berdiri sambil menyakinkan diri bahwa aku berada di tempat yang benar.

“Ya, di sinilah tempat musholla itu, tapi sekarang di mana?” Aku gelisah karena waktu Shubuh semakin sedikit.

Kegundahan yang aku rasakan kian bertambah ketika dari kejauhan kulihat polisi mendekat ke arahku. Mungkin dia mendapat laporan dari pihak keamanan, bahwa ada orang mondar-mandir di bagian belakang pasar. Aku menjauh sambil mempercepat langkah untuk mengalahkan hembusan angin dingin.

Seorang pria berjaket tebal berdiri di pojok sebuah kios sepatu. Jemper yang menutupi kepalanya tak bisa menyembunyikan wajah Asia tengahnya. Kuhampiri dia dan kutanyakan apakah dia tahu dimana musholla yang kumaksud itu berada.

Dia menjawab salam yang aku ucapkan, kemudian menuntun tanganku dan menunjukkanku tempat dimana musholla itu dipindahkan. Semua jelas, musholla sudah kutemukan. Ternyata berada di area yang sama, hanya saja jika dulu di lantai dua, sekarang diturunkan ke lantai satu. Bentuknya yang hanya kotak dan tidak mempunyai ciri khusus menyulitkanku untuk menemukannya jika tanpa bantuan orang.

***

Begitu kubuka pintu musholla, dua orang sedang berdiri siap untuk jamaah. Kutarik makmumnya ke belakang karena aku ingin bergabung. Selesai sholat, Imam pun memimpin zikir. Ayat kursi, tasbih, tahmid, dan tahlil dibacanya secara berurutan. Di belakangnya, kami mengikuti dengan suara yang lebih pelan. Imam mengakhiri zikir dengan doa. Dan aku pun mundur perlahan.

Iman dan makmum yang di sampingku tadi bergegas meninggalkanku sendiri. Aku tak tahu kemana perginya mereka. Mungkinkah mereka kini tengah berdiri kedinginan menunggu pembeli atau sedang melakukan transaksi-transaksi bisnis lainnya. Aku tidak tahu pastinya, namun yang jelas mereka sedang berjuang mengadu nasib.

Aku duduk sendiri menikmati kehangatan yang dihasilkan pemanas ruangan musholla. Kupandangi setiap sudut musholla sambil kutaksir ukuran luasnya; 4X6m tidak lebih.

Terdengar suara kaki di luar. Dua pemuda masuk, satu dari mereka menatapku penuh tanda tanya. Aku merasa tidak nyaman dengan tatapan penuh curiganya.

“Assalaamu’alaikum...” Ucapku berusaha mencairkan suasana.

Dia pun menjawab dengan penuh keheranan. Belum sempat mengoreksiku lebih lanjut, satu orang yang lain mengingatkannya untuk segera melaksanakan sholat karena matahari sudah bersiap untuk unjuk diri.

Mendekati pukul 10.30, dua orang yang baru selesai Sholat Shubuh tadi mendekatiku. Aku merasa tidak nyaman. Aku tahu, mereka akan menginterogasiku, mengapa aku sendirian di musholla ini, apa yang aku lakukan di Yekaterinburg, dll. Ya, sudah lebih dari sepuluh kali aku mendapatkan pertanyaan seperti itu dari orang-orang.

***

Pasar Taganski Ryan adalah salah satu tempat yang sering aku kunjungi. Berbagai pengalaman aku alami di sini. Di antaranya, disebabkan banyaknya pedagang dari Cina, banyak orang di pasar ini menyapaku dengan sapaan “Ni hao?” Mereka kira, aku keturunan Sampek – Engtay kali.

Mataku memang sipit, tapi sipitnya mataku jelas tidak seperti sipitnya orang-orang Cina. Mungkinkah mereka penggemar film Jackie Chan, sehingga menyamakan wajahnya dengan wajahku yang beraroma oriental kental.

“Ti Kitaec (kamu Chinese)?” Salah satu dari mereka bertanya kepadaku.

Aku hanya diam sambil menggelengkan kepala. Terus terang aku tidak mau memboroskan energiku untuk menjawab pertanyaan yang sama untuk yang ke-100 kalinya.

“Vietnamec.. (orang Vietnam?)” Pertanyaan susulan kuterima.

Memang, selain pedagang dari Cina, orang Vietnam juga banyak. Mungkin mereka mengira aku orang Vietnam karena kulitku yang agak gelap.

“Aku dari Indonesia,” jelasku, sebelum mereka memaksa untuk mengatakan asal negaraku.

Sepertinya negara Indonesia memang tidak begitu terkenal bagi sebagian orang. Hanya orang-orang yang pernah pergi hajilah yang akan selalu memuja Indonesia. Setelah mereka tahu bahwa aku adalah Indoneziec (orang Indonesia), “Banyak sekali orang Indonesia, ramah, mereka memakai pakaian yang sama setiap kelompoknya, yang wanita kemana-mana selalu dijaga oleh pria...” Rentetan kata seperti itulah yang sering dikatakan kepadaku tentang pengalaman mereka bertemu orang Indonesia di tanah suci.

Kembali ke kedua pemuda tadi. Mereka belum puas untuk mengetahui siapa saya sebenarnya

“Kamu Muslim?” Tanya salah satu dari mereka.

“Alhamdulillah,” jawabku sambil berusaha tersenyum agar tidak menyinggung mereka.

Bagi mereka, mungkin sangat aneh ketika melihat orang bermata sipit namun seorang muslim, karena selama ini mereka hanya tahu sipit non-muslim.

“Kamu sholat?” Lanjutnya.

“Alhamdulillah...” Jawabku.

Setelah beberapa obrolan kecil, mereka pun meninggalkanku sendiri. Kesendirian ini aku manfaatkan untuk mengabadikan beberapa gambar. Mungkin gambar ini bisa menjelma menjadi sebuah cerita. Pertanyaan mereka yang terakhir (tentang apakah saya sholat) memang benar. Mungkinkah mereka telah belajar apa itu Islam, Iman dan Ikhsan atau fenomena yang mengajarkan soalan seperti itu?

*** 

Yekaterinburg, Rusia, 27-12-12

Muhamad Zainun Najib

Twitter: @najib_zainun

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement