Bermodalkan tekad, nyatanya hingga saat ini ia mampu bertahan hidup di kota tersebut. Menanam padi dan cabai menjadi pekerjaannya sehari-hari. Mengapa semangatnya bisa tetap menggebu, ya?
Dalam rangka pekan Arabi, saya dan kawan-kawan (delegasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta) berangkat dari Yogyakarta ke Kota Malang. Pada pukul 5 pagi (23/11/2012), tibalah kami di pintu gerbang Universitas Negeri Malang (UM).
Panitia pun menyambut dengan ucapan selamat pagi, dan membawa kami ke Wisma kampus itu. Hari demi hari, akhirnya selesai juga lomba pidato dalam pekan Arabi itu.
Menunggu penutupan acara tersebut yang akan berlangsung tiga hari ke depan, memberikan waktu luang kepada saya. Hingga termenung, kemana saya harus bersilaturraim? Minimal "rawoen-rawoen" Kota Malang untuk cari pengalaman.
Akhirnya, saya berinisiatif untuk bersilaturrahim dengan teman seperjuangan dari Aceh. Saat ini, ia tengah melanjutkan pendidikan sarjana di salah satu kampus swasta di kota ini.
Dengan modal nomor handphone Irwandi, teman saya yang juga dari Aceh, saya pun bisa ke tempat tinggalnya sekaligus bertemu dengan Munawar. Setelah melepaskan kangen, mulailah ia menceritakan "dunia"-nya selama ini.
"Saya berangkat dari Bireun ke Malang hanya mengandalkan uang 1 juta rupiah. Sampai di Malang, uang yang ada di saku hanya tinggal 500 ribu, uang itu pun hanya cukup untuk pendaftaran ke universitas. Tapi alhamdulillah saya lulus," kata Munawar di sebuah “rangkang” depan Kos Irwandi.
Semua pekerjaan ia lakukan demi sesuap nasi. Mulai dari membantu pegawai di kampus itu, hingga mengelola sayur-sayuran dan menanam cabai.
Hingga saat ini, ia sudah bisa membeli sepeda ontel sebagai alat transportasinya ke kampus. Jarak kampus dengan tempat tinggalnya sekitar 4 Km.
Pagi-pagi buta ia sudah mengayuh sepeda untuk mengejar masuk jam kuliah tepat waktu. Sorenya baru ia kembali ke kosan untuk memantau perkembangan cabai yang ditanam di belakang kosannya.
Tanah yang berukuran kamar orang dewasa itu menjadi tempat ia mencari sesuap nasi. Tanah itu milik salah satu warga yang dipinjamkan kepadanya. Berkat ketekunannya, ia pun bisa memanen cabai sekitar 6 kilo tiap harinya. Cabai itu nantinya dijual ke warung nasi, yang hasilnya dapat digunakan untuk dua kali makan dalam sehari.
"Saya tidak mengharapkan dari orang tua lagi, karena memang keluarga kami sangat miskin. Jangankan memikirkan saya, untuk dirinya saja apoh-apah bak geumita." Ungkap Munawar ke saya.
Ia hanya bertekad dan bercita-cita untuk bisa meluluskan kuliah, minimal Sarjana. Harapan itu akan selalu ada dalam benaknya. Tidak pernah putus asa, bila uang habis ia akan berniat puasa, dan jika ada sedikit lebih akan ditabung untuk masa depan dan membantu orang tuanya. Begitu perih dan susah perjuangannya.
Setelah bercerita panjang lebar, akhirnya Irwandi memberikannya 5 buah telur sebagai bekal Munawar hari ini. Dengan wajah berseri ia berkata, "Alhamdulillah na raseuki uroe nyoe, tinggai taguen bu teuk (alhamdulillah ada rezeki hari ini, tinggal nanak nasi nanti)."
Awan mulai meredup, hujan pun turun perlahan. Kami yang sedang duduk di atas rangkang itu pun terperciki air hujan. Akhirnya, karena ingin memantau cabainya hari ini, Munawar pamit untuk meninggalkan kami pulang ke kosannya.
Ia mengatakan, "Sampai jumpa ya, semoga suatu saat nanti kita akan pulang ke Aceh dengan membawa kesuksesan masing-masing! Semoga nasibku tak 'semalang' Kota Malang". Ungkapnya sambil naik sepeda ontel yang disenderkan di dinding rangkang.
Subhanallah, perjuangan tiada henti namun tidak pernah berkeluh kesah, itulah karakter Munawar. Paris van East Java (Kota Malang) akan menjadi saksi bisu di kemudian hari untuk keberhasilannya.
Kisah ini mungkin satu dari seribu kisah mahasiswa yang berada di luar Aceh lainnya. Semoga menjadi motivasi dan mampu menggugah kita untuk selalu belajar, belajar dan belajar. Sehingga mampu membahagiakan orang tua, agama, nusa dan bangsa.
Adnan
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.