REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muannif Ridwan
Maroko biasa dikenal dikalangan bangsa Arab dengan sebutan Maghrib (Negeri Matahari terbenam). Negeri yang pernah dijajah Perancis dan Spanyol ini menganut Mazhab Maliki, baik dalam berfiqih maupun ber-ushul.
Bahkan Amirul mukminin (julukan Raja Maroko) memfatwakan untuk mengikuti satu mazhab, yaitu Madzab Maliki. Namun masih ada juga sebagian masyarakatnya yang mengikuti Mazhab Ahmad bin Hanbal seperti yang tampak di masyarakat kota Tanger (Utara Maroko).
Menurutku, wajarlah jika praktei-praktik peribadatan di negeri ini sangat jauh berbeda dengan apa yang kita lihat dan dilakukan mayoritas muslim di Indonesia, yang notabenenya menganut Mazhab Syafi’i. Salah satu contohnya adalah Adzan Jumat tiga kali. Dalam pandangan mazhab Maliki, adzan Jum’at itu dikumandangkan sebanyak tiga kali.
Mereka berpedoman kepada dua dalil dari hadits Nabi SAW. Yang pertama: Hadits yang diriwayatkan oleh Yazid Bin Sa’ib: Bahwasannya pada zaman Nabi, Abu Bakar dan Umar, Adzan Jumat itu cukup dikumandangkan saat Khotib duduk di atas mimbar.
Kemudian pada masa Utsman, adzan itu dikumandangkan sebanyak tiga kali karena jumlah jamaahnya semakin banyak. Yang kedua: Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Habib dalam kitab al Wadihah fis Sunan: Bahwa Nabi SAW. ketika telah masuk masjid langsung naik mimbar dan duduk, kemudian para muadzin yang berjumlah tiga orang langsung mengumandangkan adzan di atas menara secara bergantian. Ketika mereka selesai, Nabi langsung berdiri untuk memulai khutbahnya. Hal seperti ini dilakukan pada zaman Abu bakar dan Umar, kemudian pada zaman Utsman juga masih berlanjut seperti ini.
Sedangkan menurut Jumhur (Syafi’i, Hanafi, Hanbali, dll.), mereka sepakat dengan pendapat Utsman yaitu cukup dengan dua Adzan. Adapun menurut pendapat syeikh Ahmad bin Siddiq Al-Ghumari, beliau mengatakan bahwa tradisi adzan jum’at sebanyak tiga kali ketika khatib naik di atas mimbar itu merupakan perbuatan bid’ah mungkar/sesat yang seharusnya ditinggalkan.
Menurut beliau (Syeikh al-Ghumari), bahwa yang dimaksud dengan adzan yang ketiga dalam hadits Yazid ibn as-Sa’ib itu adalah iqamah, karena Iqamah itu dalam syar’i disebut adzan. Sebagaimana Nabi pernah mengatakan dalam sebuah hadiyms yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mughoffal, “Diantara setiap dua adzan itu sholat”. Jelas sekali dalam hadis tersebut bahwa adzan jum’at itu hanya dua kali.
Ibnu Rusyd mengomentari Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Habib, bahwasannya hadits tersebut tidak bisa dijadikan hujjah (dalil). Menurut beliau, “Hadits-hadits yang diriwayatkannya itu da’if (lemah kualitasnya) menurut para ahli hadits, apalagi ketika ia sendiri dalam meriwayatkannya”.
Selain itu, masih banyak beberapa praktek fiqih maliki yang sangat menarik bagi saya, yaitu ketika saya melihat bagaimana orang maroko bisa berwudlu hanya dengan air satu gelas. Apalagi kalau bertayamum, mereka hanya menggunakan sebuah batu sebesar buah kedondong, dengan cukup menggosok-gosokkannya ke muka dan pergelangan tangan.
Yang lebih mantap lagi, yaitu seorang khotib Jumat yang diperbolehkan minum saat berkhutbah. Dan masih banyak lagi tentunya fenomena-fenomena tentang penerapan fiqih Maliki seperti ini, yang mungkin dianggap “aneh” oleh sebagian kita, bagi mereka yang biasa mempraktekkan fiqih Syafi’i. Bahkan barangkali kita bisa “dikafirkan” oleh sebagian masyarakat kita, ketika kita hendak mengamalkan pratek peribadatan seperti ini. Wallahu A’lam.
Tanger, 26 Mei 2013
Mahasiswa Jurusan Islamic Studies di Univ. Imam Nafie, Tanger-Maroko