REPUBLIKA.CO.ID, Pagi itu, suasanana masih seperti biasa, anak-anak pergi ke sekolah dan orang tua bergegas mencari nafkah. Tak ada yang berbeda dengan hari-hari sebelumnya di Manado. Pagi itu masih terasa sejuk, hingga pada akhirnya mereka disapa gulungan air bah yang berasal dari hulu.
Awalnya biasa saja, namun keadaan semakin mencekam saat arus air semakin deras hingga akhirnya menggenangi rumah, menghanyutkan harta benda mereka.
Dalam keporak-porandaan, jelas sedikit bahkan tidak ada harta yang tersisa, semuanya hanyut tersapu air. Tak bisa dipungkiri pula, manusia mana yang tak kalut menerima ujian seperti ini. Namun, kebanyakan dari mereka masih dapat berpikir logis.
Saat air bah datang, mereka tak ragu untuk bergegas menyelamatkan diri dan anggota keluarga ke tempat yang lebih aman. Tak terpikirkan oleh mereka untuk menengok harta benda. Mereka sadar, harta tak lebih berharga dari keselamatan jiwa.
Pascabencana, Tim Disaster Emergency and Relief Management (DERM) Aksi Cepat Tanggap (ACT) mencoba menyusuri perumahan warga yang sebagian besar sudah tak terlihat bentuknya.
Bongkahan dinding, runtuhan atap, hingga serpihan kaca, seolah menjadi pemandangan pilu yang harus tampak di depan mata anggota tim. .
Hampir di akhir penyusuran, tim melihat sebuah tenda biru reot ditengah hamparan runtuhan rumah warga. Dibawah tenda itu, tampak susunan bata mengelilingi api kecil yang memanaskan tungku, tampak pula sesosok wanita yang sedang asik memasak dengan wajah penuh senyum tanda ikhlas.
Adalah Suryani Bakari (53tahun), ibu dengan 7 anak tersebut merupakan salah satu dari sekian banyak warga yang menjadi korban banjir Bandang di wilayah Kelurahan Ternate Tanjung, Kecamatan Singkil, Kota Manado.
Rumahnya rusak berat, mungkin kondisinya bisa disamakan seperti rumah hanyut. Bedanya hanyalah dinding-dinding rumah yang masih berdiri.
Dalam keterbatasan itu, Suryani masih bisa memikirkan nasib para tetangganya. Dengan bermodal sisa tabungan yang ia miliki, Suryani mendirikan sebuah dapur umum kecil untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari tetangga.
“Alhamdulillah, semua bahan makanan disini saya beli sendiri, sedikit-sedikit yang penting bisa membantu tetangga-tetangga saya untuk makan sehari-hari”, tuturnya memulai percakapan.
Dapur umum kecil yang berdiri sejak 2 hari pasca bencana, hingga saat ini masih setia memenuhi kebutuhan para tetangganya. Suryani mengungkapkan alasannya untuk berbagi, semua yang iya lakukan demi mendapat keberkahan pasca tertimpa musibah.
“Setiap ada bantuan beras, ikan, dan bahan makanan lainnya yang saya dapat dari posko, tidak mungkin saya nikmati sendiri, tapi saya kumpulkan lalu saya masak. Lumayan bisa memenuhi makan tiga kali sehari untuk tetangga-tetangga saya, sekitar 27 jiwa”, ujarnya.
Suryani telah menunjukkan kepeduliannya, dengan menyandang status sebagai korban bencana, ia masih bisa menggenggam tangan para tetangganya untuk terus memberikan asupan kebutuhan makan sehari-hari, agar para tetangganya tetap kuat menjalani hari untuk segera bangkit dari keterpurukan akibat bencana.
“Kita semua disini terkena musibah, semoga dengan sedikit harta yang saya punya bisa membantu tetangga-tetangga saya yang masih kesulitan, bisa menjadi berkah bagi saya dan mereka,”kata dia menyudahi.