Selasa 11 Feb 2014 08:50 WIB

Hilangnya Habitat Bekantan

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Julkifli Marbun
Bekantan Experience
Foto: Bekantan Experience
Bekantan Experience

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Giovanna Aanisa Thohir and Gabriella Alifa Thohir

Indonesia memiliki kekayaan satwa liar yang unik dan endemik. Orangutan dan Komodo adalah dua jenis yang populer. Namun, ada jenis lainnya yang hanya ada di sebuah pulau di Indonesia dan tampaknya telah dilupakan, bahkan oleh orang Indonesia sendiri, yaitu Bekantan (Nasalis larvatus).

Berbeda dengan Orangutan yang dapat ditemukan di berbagai lokasi di Pulau Kalimantan dan Sumatra, Si Hidung Besar (julukan untuk monyet ini) hanya endemik di Kalimantan. Mereka suka menjelajahi hutang mangrove. Namun, hilang dan berkurangnya habitat ini telah mengurangi populasi mereka yang telah hanya tersisa ribuan ekor itu.

Di Banjarmasin, ibu kota Kalimantan Selatan, wisatawan dapat berperahu sepanjang perairan untuk mengunjungi banyak pulau yang tersebar di seluruh Kalimantan. Salah satu pulau yang menjadi rute adalah Pulau kaget. Penduduk setempat menyebut Pulau Kaget karena sering melihat bekantan secara tiba-tiba di sana.

Pulau Kaget bukan hanya menjadi habitat bekantan, melainkan dua jenis monyet lainnya, yaitu Lutung Kalimantan dan monyet pada umumnya. Alasan lain mengapa Pulau Kaget disukai oleh kelompok monyet adalah hutan mangrovenya yang lebat. Bekantan hidup di hutan dengan tingkat kerapatan pohon yang tinggi. Kawasan hutan bakau di sepanjang Pantai Selatan Kalimantan menjadi habitat ideal karena pohonnya lebat dan airnya sedikit. meskipun mereka adalah perenang yang mahir, bekantan lebih suka berdiam di pohon.

Setelah tiba di pulau itu, kami merasa tidak mungkin monyet itu hidup di Pulau Kaget. Pulau ini hampir tandus dan tak ada pohonnya. Penduduk setempat telah mengubahnya menjadi sawah. Banyak lahan di pulau ini yang sudah rata menjadi tanah. Pohon-pohonnya menjadi sedikit, dan monyet yang sudah terlanjur berkembang biak di sana dipaksa untuk mencari rumah baru.

Perairan yang memisahkan pulau-pulau itu menjadi dangkal. Beberapa monyet di Pulau Kaget juga mati karena kurangnya sumber daya pakan. Pohon-pohon yang sudah jarang tak cukup menyembunyikan tubuh mereka dari bahaya, dan sumber makanan mereka menurun drastis. Bekantan lebih suka hidup berkelompok dan susah berbaur dengan monyet lain, sehingga mereka dipaksa untuk memperjuangkan wilayahnya sebab populasi monyet lain lebih dominan sehingga populasi bekantan cepat menurun.

Hilangnya habitat bekantan, salah satunya di Pulau Kaget adalah penyebab paling umum menurunnya populasi mereka. Masalah ini sudah umum terjadi di seluruh Pulau Kalimantan. Pembukaan lahan pertanian, kehutanan, dan pembangunan perkotaan dengan cepat mengurangi keanekaragaman hayati di sini. Indonesia adalah produsen minyak yang besar, kayu, juga sumber daya lainnya. Untuk alasan ini, pertanian dan proyek industri menjadi sektor umum yang menguasai Kalimantan. Namun, efeknya terhadap hutan dan satwaliar sangat buruk. Jumlah bekantan dalam 5-10 tahun terakhir turun drastis dari 20 ribu ekor menjadi tujuh ribu ekor. Studi terbaru menunjukkan bahwa pada 16 Mei 2013, ada 5.907 ekor bekantan yang tersisa. Dalam 14 tahun, bekatan diproyeksikan akan punah.

Untuk menggali sumber daya alam di dalam perut bumi Kalimantan, pohon-pohon ditebang dan tanah dikeruk. Itu berarti bekantan telah kehilangan habitatnya dan mereka dipaksa untuk pindah ke daerah lainnya yang tidak ideal untuk menjadi habitat baru mereka, sehingga mereka sulit beradaptasi. Penduduk membuat banyak pemukiman baru di Pulau Kaget, monyet lainpun terpaksa pergi, mereka diusir dari habitat alami mereka. Sekarang, mereka hanya terbatas tinggal di daerah-daerah terpencil di Kalimantan yang masih memiliki pohon lebat. Sebagian besarnya susah menemukan rumah baru dan berujung pada kematian.

Jika bekantan harus bermigrasi, mereka membutuhkan bantuan pohon. Meskipun bekantan sering bersantai di tanah dan bisa berjalan kaki, namun mereka sudah terbiasa bergelayut dari satu pohon ke pohon lainnya. Menurunnya jumlah pohon membatasi sejauh mana perjalanan mereka. Di Banjarmasin, penduduk setempat bahkan menemukan bekantan tinggal di rumah sakit jiwa. Kesannya sangat mengerikan, karena mereka tidak punya habitat lain untuk pindah. Jalan mereka terhalang oleh pembangunan perkotaan, bahkan jika mereka bisa pergi, siapa yang bisa menjamin ada sumber daya yang cukup untuk mempertahankan diri mereka? Ini sama sekali tidak ada yang menjamin. Penduduk setempat bahkan membunuh bekantan dalam kegiatan berburu, bahkan mereka mengonsumsinya sebagai obat. Masyarakat tidak tahu bahwa maskot provinsi mereka dalam keadaan  terancam punah.

Bekantan adalah simbol budaya kita. Ini adalah hewan endemik negara kita. Namun, belum ada gerakan nasional konservasi hewan-hewan langka. Meskipun bekantan kurang populer dibandingkan Orangutan dan Komodo yang sudah sering diliput media dan televisi, satwaliar yang satu ini tetap butuh perhatian kita.

Mereka mengapa begitu penting? Mengapa kita tak bisa membantu hewan endemik kita sendiri? Mengapa? Alasannya karena di masa depan, ketika mereka punah, kita tidak akan bisa melihat satu pun mereka lagi. Kita telah kehilangan begitu banyak spesies karena tindakan manusia. Haruskah kita mengorbankan yang lain lagi untuk kebutuhan pribadi kita? Langkah pertama yang harus kita lakukan adalah waspada. Ini adalah langkah pertama, yaitu Proyek Bekantan yang akan mengembalikan populasi satwa liar yang tengah sekarat ini. Tetap ikuti kami yang terus berupaya menyelamatkan Bekantan di Indonesia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement