REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Gusti Rahayu
Pertama kali menginjakkan kaki di SDN 2 Sendoyan, Sejangkung, Sambas, Kalimantan Barat, saat itu siswa sedang mengikuti ulangan tengah-semester. Sejenak kuperhatikan sekeliling kelas. Siswa tampak serius menjawab pertanyaan di lembar soal.
Aku beranjak dari kursi dan berjalan menghampiri setiap siswa. Saat aku lewat di depan siswa yang sibuk berpikir, sebagian mereka ada yang langsung menutupi lembar jawabannya. Saat aku berada di barisan belakang, tampak seorang anak hanya diam tanpa mengerjakan apa pun.
“Kamu sakit, Nak?”
Anak itu hanya menggeleng. Aku merasa heran. Aku lalu berlalu sambil sesekali memerhatikannya.
Lalu kudatangi lagi mejanya. “Nama kamu siapa?”
“Angga, Bu,” jawabnya.
Setelah setengah jam berlalu, aku pun kembali mendatangi mejanya, kertasnya masih juga kosong.
Salah seorang guru tiba-tiba menghampiriku, sambil berbisik, “Bu, Angga itu daan bisse bace.”
Logat Melayu sang guru wali kelas sontak membuatku terkaget. Ditambah lagi sorakan teman-temannya yang menambah kesedihan Angga. Entah mengapa aku seketika merasa ikut bersedih.
Aku pun berinisiatif untuk membacakan soal satu per satu, barulah Angga bisa menjawab soal pilihan ganda. Tetapi, ketika menjawab soal isian, tulisan yang ditulis di lembar jawaban tidak jelas. Entahlah apa yang dituliskannya. Aku pun semakin tidak enak hati melihat wajahnya yang tampak sedih.
Setelah ulangan berakhir, aku kembali mendatangi mejanya. “Angga, mau enggak nanti pas pulang sekolah Ibu ajarin membaca?”
Ia pun mengangguk.
Angga, begitulah siswa itu disapa. Siswa kelas 2 pindahan dari sekolah daerah Makassar karena mengikuti orangtuanya yang kembali ke kampung halaman. Sesuai janjiku, sepulang sekolah aku perlahan mengajari Angga.
Berawal dari pengenalan huruf, membedakan antara huruf-huruf yang satu dengan yang lain. Hatiku semakin miris saat ia tidak bisa membedakan huruf V dan W. Apabila ada penggabungan huruf konsonan dan vokal, ia akan terbata-bata. Ketika diulang lagi, ia lupa, seakan-akan tidak pernah diajarkan sebelumnya.
Dalam usaha membedakan huruf V dan W, aku menggunakan jari tangan seperti tanda “peace” untuk huruf V dan tiga buah jari tangan untuk huruf W. Metode ini ternyata lumayan ampuh buat Angga untuk membedakan huruf tersebut. Aku pun menyuruh Angga mengikuti gerakan yang kulakukan.
Setelah beberapa menit berlatih, kami pun tertawa bersama sembari mengingat metode yang kuajarkan. Ternyata metode ini sangat ampuh dilakukan untuk membedakan huruf tersebut.
Besoknya salah satu guru bertanya tentang cara-cara yang kulakukan untuk mengajar Angga. “Bu, ngape sepulang sekolah daan langsung balik?”
Aku pun menjawab, “Ngajarin Angga, Bu.”
Tiba-tiba seorang guru yang lain menceletuk, “Bu, daan bisse nak ngajarek biak tok e, sakit ngajarek die, udah babal.”
Aku tersontak kaget mendengar kalimat terakhir dari salah satu guru itu. Sangat tidak enak didengar, kasar, pelabelan, dan amat tidak percaya akan kemampuan sang anak. Diam-diam aku semakin bertekad membalikkan ucapan itu.
“Aku harus bisa membuktikan bahwa Angga bisa mengenal huruf, Angga bisa membedakan huruf dan Angga tidak sebodoh yang dilabelkan guru-guru di sini,” ucapku membatin.
Tekadku semakin membaja untuk menjadikan Angga bisa membaca. “Kamu tidak boleh lagi diolok-olok lagi oleh teman-teman. Ibu janji, Angga. Ibu tidak akan pernah lelah menjadikan dirimu bisa.”
Setelah sekian bulan metode kreasiku, Angga perlahan berubah menjadi anak periang dan aktif. Ia bahkan mulai memperlihatkan prestasinya. Perlahan-lahan ia mulai bisa membedakan huruf-huruf tanpa salah lagi. Setiap aku mengangkat tanda “peace”, ia langsung berkata dengan penuh semangat, “V, Bu!” Apabila saya angkat tiga jari telunjuk, jari tengah, dan jari manis dalam waktu bersamaan, langsung Angga menjawab, “Itu W, Bu!” Lalu kami tertawa bersama.
Seiring waktu, Angga sering membawa buku cerita ke kantor. Ia lakukan itu hanya untuk memperlihatkan kemampuan membacanya padaku. “Ibu bangga padamu, Angga.”
Sesungging senyum menyertai kedatangan Angga. Tergambar jelas bagaimana hari-hari sebelumnya ia dicemooh, bahkan oleh beberapa gurunya. Sungguh betapa tidak mengenakkan perasaan anak yang dicap bodoh oleh lingkungannya. Betapa sering kata-kata yang tidak mengenakkan terdengar di telinga. “Dasar anak bodoh, bebal, masak itu saja enggak bisa?”
Masih banyak lagi kata-kata yang terlontar dari mulut orang dewasa bahkan guru kepada anak-anak seperti Angga. Yang menyedihkan, orangtua pun tidak sedikit menganggap anaknya demikian. Mereka tidak tahu bahwa setiap anak itu spesial, dan setiap anak memiliki kecerdasan masing-masing, termasuk juga dalam cara pembelajarannya.
Gusti Rahayu
Penulis adalah guru di Sekolah Guru Indonesia-Dompet Dhuafa