Senin 29 Sep 2014 21:24 WIB

Pengalaman Achmad Taufik Lulus Beasiswa ke Australia

Red:
abc news
abc news

REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Sekolah ke luar negeri dengan beasiswa biasanya banyak ditalikan dengan mereka yang berprestasi baik di sekolah. Namun tidak demikian dengan Achmad Taufik yang sekarang menempuh pendidikan S2 di Universitas Wollongong, Australia. Kegagalan menjadi motivasi baginya untuk bisa berhasil.

Saya gagal memasukkan bola lebih dari 9.000 kali dalam karir saya. Kalah hampir 300 pertandingan, dalam 26 pertandingan saya dipercayai untuk mencetak gol untuk memenangkan pertandingan namun gagal. Saya gagal berulangkali. Dan itulah mengapa saya berhasil.  (Michael Jordan)

Karena merasa sering gagal dan gagal lagi, sejak lama saya menyukai kata-kata mutiara yang menghubung-hubungkan kesuksesan dan kegagalan seperti di atas. Percaya atau tidak, rasanya seperti menemukan harta karun apabila menemukan kata-kata bijak seperti itu, “Hmm…, masih ada harapan ”, begitu kurang lebih dalam benak saya.

Meski tidak sehebat kisah tokoh-tokoh besar yang ada di buku-buku motivasi, saya ingin bercerita tentang kisah kegagalan saya yang kemudian ternyata menjadi keberhasilan. Blessing in disguise, katanya. Alhamdulillah, sejak awal 2013 saya dapat kuliah S2 gratis di Australia karena memperoleh beasiswa SPIRIT (Scholarship Program for Strengthening the Reforming Institution) yang didanai oleh World Bank.

Pada umumnya orang menduga yang hebat-hebat mengenai penerima beasiswa: Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tinggi, aktif berorganisasi dan segudang prestasi lainnya. Lalu, apakah saya demikian?

Perjalanan Achmad Taufik dari Purbalingga ke Wollongong lebih panjang dari banyak mahasiswa lain.(Koleksi pribadi)

Dari SD sampai SMP prestasi sekolah saya biasa-biasa saja. Karena cenderung pemalu, saya juga tidak aktif berorganisasi, OSIS tidak, Pramuka pun nggak. Nilai Ebtanas Murni (NEM) SMP yang pas-pasan kemudian membuat saya kena getahnya. Meski nilai saya cuma kurang nol koma, tahun 1987 saya gagal diterima di SMA Negeri 1 Purbalingga yang waktu itu merupakan satu-satunya SMA negeri di kota kelahiran saya. Pahit rasanya.

Merasa ditolak dan terpaksa berpisah dengan seorang sahabat yang sejak TK sampai dengan SMP selalu bersama. Saya pun kemudian harus mencari sekolah pengganti. Melihat tetangga saya yang sekolah di SMEA (Sekolah Menengah Ekonomi Atas) membawa buku teks tebal berjudul “Pengantar Bisnis”, saya menjadi tertarik. “Wow, keren..!”, pikir saya. Tanpa pikir panjang lagi, saya langsung mendaftar ke sekolah kejuruan tersebut.

Perjalanan saya di SMEA Negeri Purbalingga, yang diawali kekecewaan dan pesona buku tebal,  penuh dengan gelombang, naik dan turun.  Meski di semester pertama kelas satu saya masuk peringkat lima besar dan hampir tidak pernah absen, di semester selanjutnya ranking saya terus merosot dan absensi saya terus menanjak.

Rupanya saya belum bisa menerima kegagalan. Saya mungkin terlalu bangga dengan sekolah sebelumnya, SMP Negeri 1 Purbalingga, sekolah favorit yang sebagian besar lulusannya masuk SMA Negeri 1 Purbalingga.

Saya merasa minder tidak diterima di sekolah umum dan terpaksa melanjutkan di sekolah kejuruan sehingga saya pun tidak semangat untuk bersekolah. Datang ke sekolah di detik-detik terakhir menjelang pintu gerbang ditutup pun kemudian menjadi kebiasaan. Terlambat masuk sekolah, lalu membelokkan sepeda untuk sekedar nongkrong sendiri menjadi ‘filosof’ di terminal bus juga jadi langganan.

Saat kelas dua semester satu, peringkat saya jatuh ke posisi 29 dan total absensi meroket menjadi lebih dari 20 hari.

Karena kebiasaan bolos terus berlanjut, akhirnya Ibu saya mendapat surat panggilan untuk bersama saya menghadap Guru BP (Bimbingan Penyuluhan) di sekolah. Di depan Ibu saya, Guru BP mengancam, “Fik, kalau kamu bolos lagi, kamu tidak naik kelas!”, tegasnya  sambil menyodorkan Surat Peringatan. Rupanya ancaman beliau kali ini salah alamat. Saya bukanlah murid yang takut apabila diancam tidak naik kelas. “Dikira takut tidak naik kelas?!” dalam hati saya menantang.

Puncaknya pada saat ujian kenaikan kelas dua, saya melaksanakan tantangan itu. Bukan guru yang membuat saya tidak naik, tapi saya sendiri yang memutuskan untuk tidak naik kelas. Begitu sikap saya. Saya pun minta ijin ke Ibu, “Bu, saya tidak akan ikut ujian. Percuma saya naik kelas, tapi nilainya asal-asalan. Saya janji nanti  tidak mengulangi lagi, nanti saya akan lebih rajin.”  Ibu percaya dengan janji saya dan beliau mengijinkan.  Saya ‘harakiri’ (‘bunuh diri’) tidak naik ke kelas tiga.

Hari pertama masuk sekolah setelah libur kenaikan adalah saatnya pembagian kelas. Semua tampak bersuka cita, kecuali saya. Dengan sungkan saya mendekati teman-teman lama eks-kelas dua. Baru mengobrol sebentar, saya ditinggal sendirian karena mereka berhamburan mencari ruang kelas mereka yang baru di kelas tiga.

Saya lalu mencoba berkenalan dengan beberapa adik kelas satu yang naik ke kelas dua dan kembali saya ditinggal karena mereka pun mencari ruang kelas mereka yang baru. Dengan malas, saya pun mengikuti dari belakang. Di daftar murid kelas dua manapun nama saya tidak ditemukan. Untuk sementara, pagi itu saya pun menjadi ‘gelandangan’, tidak punya ruang kelas. Setelah lapor ke Ruang Tata Usaha, barulah saya ditunjuk untuk kembali ke ruang kelas dua yang lama dengan teman-teman yang baru, para mantan adik kelas.

Di kelas lama rasa baru, saya bertekad memenuhi janji saya kepada Ibu. Saya lebih rajin, tidak bolos, dan selalu mengerjakan PR. Terkait mengerjakan PR ada sebuah peristiwa yang tidak dapat saya lupakan (tetapi sudah lama saya maafkan). Suatu hari ada PR Akuntansi yang jatuh tempo. Meski ada segelintir teman yang mencontek pekerjaan teman yang lain sebelum kelas dimulai, saya tidak tergoda untuk melakukannya, saya yakin dengan pekerjaan saya sendiri.

Namun ketika PR dikoreksi, Pak Guru menghampiri meja saya dan beliau menemukan kalau saya melakukan kesalahan, suatu rekening yang seharusnya di-kredit namun salah saya debit. Saya pikir kesalahan tersebut sepele, namun reaksinya sungguh di luar dugaan. Dengan nada merendahkan dan jengkel ia berujar, “Bodoh kamu, mau mengulang lagi?" sambil tangannya menggoreskan kapur ke pipi saya.  Saya hanya diam, tapi di dalam hati saya mendidih. Saya tidak terima dihina serendah itu, suatu saat harus saya buktikan.

Singkat cerita tentang Kelas Dua Jilid Dua, janji saya kepada Ibu terpenuhi. Akhirnya, saya berhasil naik ke kelas tiga dengan nilai baik, saya masuk peringkat sepuluh besar.

Suatu hari ketika di kelas tiga, kami anak-anak jurusan Akuntansi mendapat kunjungan serombongan mahasiswa yang memberikan pengarahan ke setiap kelas. Mereka tampak gagah. Dengan jaket almamater berwarna biru donker beremblem kuning di dada kanan, samar-samar terbaca tulisan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Ya, hari itu kami mendapat mentoring mengenai STAN/Program Diploma III Keuangan oleh perkumpulan mahasiswa Purbalingga yang saat itu tengah kuliah di sana.

Informasi mengenai kesempatan kuliah di STAN sungguh menarik sekaligus menantang. Bagaimana tidak?! Sudah kuliah gratis, saat  tingkat dua  mendapat uang saku, apabila lulus langsung menjadi pegawai negeri lagi - bisa di Departemen Keuangan, BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), BPKP (Badan Pengawas Keuangan  dan Pembangunan) atau instansi keuangan lainnya.

Mengingat Bapak saya yang sering sakit-sakitan hanya seorang pensiunan dan saya sekolah di kejuruan, sebelumnya saya tidak terlalu berharap akan kuliah setelah lulus SMEA. Akan tetapi, mendengar informasi yang mencerahkan tersebut saya jadi memiliki harapan, “Hmm, kesempatan emas!” pikir saya. Tapi yang menjadi masalah, persyaratannya juga tidak mudah. Di samping syarat nilai minimal yang cukup tinggi untuk bisa mendaftar, peserta ujian masuk kemudian juga harus bersaing dengan puluhan ribu pelajar dari seluruh Indonesia untuk memperebutkan hanya beberapa ratus kursi.

Bahkan setelah kuliah pun tidak dijamin aman, karena apabila tidak memenuhi Indeks Prestasi (IP) minimal 2,65 maka langsung dikeluarkan. Saya tertantang. Inilah saatnya untuk membayar kekalahan, “Aku harus mendaftar!”, tekad saya.

Hari-hari setelah pengumuman tentang peluang kuliah gratis di STAN  membuat saya lebih semangat untuk belajar. Saya bertekad harus lulus SMEA dengan nilai maksimal agar bisa mendaftar dan tentu saja supaya berhasil dalam ujian masuk STAN.

Hal pertama yang saya lakukan adalah memberitahu Bapak dan Ibu tentang niat saya tersebut dan mohon do’a mereka agar saya diberikan kemudahan. Kemudian, persiapan ‘perang’ pun digelar. Buku-buku, alat tulis, dan radio tape sebagai teman belajar semua saya siapkan di meja kecil di sudut kamar. Rupa-rupa gambar dan tulisan penyemangat belajar juga saya tempelkan di dinding tepat menghadap meja belajar. ‘Si bodoh Akuntansi’ akhirnya mendapat beasiswa kuliah di STAN. Setelah  itu barulah saya sadar, melanjutkan sekolah di SMEA adalah pilihan yang terbaik buat saya.

Barangkali Anda menduga paragraf happy ending di atas akan berlanjut dengan keberhasilan demi keberhasilan yang klimaksnya mengantarkan saya mendapat beasiswa S2 di Australia.

Cerita sebenarnya tidak demikian. Saya lulus Diploma III STAN dengan nilai yang tidak terlalu memuaskan. IPK saya hanya 2,868 sehingga menempatkan saya di urutan 313 dari sekitar 450 wisudawan STAN di tahun 1994. Setelah lulus dari Diploma III STAN dan berdinas selama dua tahun di Direktorat Jenderal Pajak, saya berhasil lolos ujian seleksi masuk Program Diploma IV STAN (setara S1).

Saya kemudian kembali melakukan kesalahan. Saya melanggar motto saya sendiri “Tidak ada orang yang bodoh, yang ada hanya orang yang malas  belajar”. Saya lupa, itu adalah hukum besi, berlaku kapanpun. Saya malas belajar, maka saya pun menjadi bodoh. Indeks Prestasi saya saat di tingkat akhir Diploma IV di bawah persyaratan minimal  sehingga terima atau tidak, saya pun dikeluarkan. Ya Anda tidak  salah baca, saya  di-DO (Drop Out) dari Program Diploma IV STAN. Lalu, bagaimana akhirnya saya bisa memperoleh beasiswa S2 Luar Negeri dengan riwayat pendidikan amburadul seperti ini?!

Saya menyadari tidak bisa mengubah masa lalu saya tetapi mungkin dapat mengubah masa depan saya. Oleh karena itu, saya hanya fokus kepada hal-hal yang bisa saya ubah. Saya tidak bisa mengubah kenyataan bahwa saya pernah tidak naik kelas sewaktu SMEA dan dikeluarkan dari Diploma IV STAN, tapi saya bisa kuliah S1 lagi di manapun, perguruan tinggi negeri maupun swasta.  Saya tidak bisa mengubah nilai ijasah dan IPK saya di masa lalu, tetapi saya bisa memperbaiki nilai TOEFL, IELTS atau TPA saya untuk berlomba meraih beasiswa.

Saya tidak bisa mengubah fakta di masa lalu tidak pernah aktif berorganisasi, tetapi saya bisa belajar untuk berani berbicara di depan pertemuan atau mulai berperan kecil di  kegiatan apapun.

Achmad Taufik bersama dengan burung kakak tua di kampusnya di Wollongong (NSW). (Koleksi pribadi)

Hasilnya, meskipun butuh waktu yang panjang, mimpi saya menjadi kenyataan. Benar awalnya hanyalah mimpi untuk mendapat beasiswa S2 luar negeri, mengingat ketidaklayakan riwayat pendidikan saya sebelumnya.

Angan-angan itu tumbuh setelah saya mendapat inspirasi dari para dosen Diploma IV STAN alumni S2/S3 Luar Negeri sewaktu saya masih berumur 25 tahun sekitar pertengahan tahun 1997. Meskipun kemudian saya Drop Out, mimpi tersebut tak pernah padam. Tidak ada kata terlambat.

Karena sudah berkeluarga sehingga ada beberapa hal lain yang lebih saya prioritaskan, saya baru kembali kuliah S1 tahun 2004 dan lulus tahun 2006 saat saya berumur 34 tahun. Karena kendala persyaratan administratif, gelar S1 harus tercantum dalam Surat Keputusan (SK) kepangkatan terakhir, saya baru berkesempatan mendaftar seleksi beasiswa S2 melalui kantor pada saat berumur 37 tahun.

Setelah usaha pertama mendaftar beasiswa Australian Development Scholarship (ADS) gagal di tingat wawancara, akhirnya di kesempatan kedua sekaligus terakhir saya berhasil mendapat beasiswa S2 Luar Negeri – SPIRIT World Bank pada saat saya berusia 39 tahun 9 bulan. Batas umur maksimal mendaftar beasiswa S2 waktu itu adalah 40 tahun.

Saat ini saya sudah berumur 42 tahun dan terdaftar sebagai mahasiswa tahun kedua Faculty of Business, University of Wollongong (UoW) mengambil jurusan Master of Commerce – Master of Strategic Human Resource Management (Double Degree).

Memandang berpuluh-puluh burung kakaktua terbang bebas di langit biru Australia dan hinggap di halaman kampus UoW di Northfields Avenue, saya seakan tak percaya kalau akhirnya saya benar-benar berada di sana. Satu mimpi kini telah menjadi kenyataan.

*Tulisan ini adalah pendapat pribadi.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement