REPUBLIKA.CO.ID, oleh Lygia Pencaduhujan, blogger
Hidup tak pernah bisa tertebak bagaimana awal dan akhirnya. Hidup tak selalu bisa terencana akan dimulai dan berakhir dimana. Terkadang kita hanya sekedar menjalani tanpa tahu arah dan tujuan. Namun tak sedikit yang sadar, untuk apa ia hidup, dan bagaimana ia harus menjalani hidupnya.
Bagi saya, hidup sekadar halte persinggahan semata, sedang akhirat adalah tujuan akhir kita. Itu sebabnya saya selalu bertanya-tanya, kapan waktu saya akan sampai ke tujuan? Hari ini? Esok Lusa? Entahlah. Yang saya yakini, sama seperti ketika saya naik bus dan sudah dekat dengan tujuan, maka saya harus segera bersiap-siap untuk menyetop bus, dan melangkah turun. Saya tidak akan bisa maksa kenek atau bahkan supir bus untuk jangan segera sampai di tujuan.
"Pak, jalannya jalan ngebut, kita santai aja ya. Relaks, Man ... Takkan lari gunung dikejar!"
Sama halnya seperti HIDUP. Kita tidak akan bisa tawar menawar dengan Tuhan, kapan kita ingin dijemput oleh Malaikat Maut. Seorang teman pernah bilang, kalau ditotal, waktu untuk kita hidup di dunia itu paling cuma sekedipan mata buat mereka yang udah ada di akhirat.
Kalau iman saya sedang turun, saya suka takut ngebayangin kematian. Bukan apa-apa, saya merasa bekal yang saya siapkan belum cukup. Masih jauh dari kata CUKUP malah. Saya senantiasa dibayangi oleh satu hal: Saya pengen masuk SURGA, tapi jangan-jangan tiket saya cuma cukup buat masuk ke NERAKA? Astagfirullah.
Selain bekal ibadah, ada satu hal lagi yang selama ini jadi beban pikiran saya. Yaitu, pertanyaan "Kalau besok kamu meninggal, kamu mau dimakamkan di mana?". Saya yakin banyak orang yang sama sekali belum kepikiran mau dimakamin di mana. Sementara, pikiran mereka dipenuhi dengan pertanyaan, besok lusa saya harus punya rumah. Mau beli rumah di mana? Tipe berapa? Bangunannya seperti apa? Yup, banyak diantara kita sibuk mempersiapkan tempat tinggal di dunia, tapi lupa mau tinggal di mana kita nanti saat tiba-tiba ajal menjelang.
Beban pikiran itu juga yang mendadak kembali nyangkut di kepala, saat saya dapet kesempatan jalan-jalan berkunjung ke Al Azhar Memorial Garden (AAMG) di Karawang, Jawa Barat. Sebuah pemakaman yang dimiliki oleh Yayasan Al Azhar dan dibangun di atas lahan seluas kurang lebih 25 hektar.
Terus terang aja, saya takjub liat tempat ini. Saya tahu, ada banyak suara di luar sana tentang pemakaman model begini. Banyak anggapan yang bilang bahwa ini pemakaman mewah, terutama kalau melihat harga makam per kaplingnya di sini berapa. Harga makam di sini, per kapling diberi banderol Rp. 25 jutaan. Mahal? Tapi ternyata nggak lho!
Kenapa saya bilang nggak mahal, bahkan menurut saya sangat murah? Karena harga ini untuk seumur hidup dan nggak bakal ada biaya-biaya tambahan lain, karena semuanya ditanggung oleh pihak Al Azhar Memorial Garden. Pihak AAMG mengerahkan sekitar 22 orang pegawai yang bertanggung jawab untuk mengurus kebersihan makam.
Ketika saya dan teman-teman berkesempatan keliling makam untuk melihat-lihat 3 tipe makam yang ada di sana, yaitu single, double, dan family, yang saya lihat bukan makam-makam mewah seperti yang ada di tempat lain. Melainkan betul-betul sebuah kompleks pemakaman yang asri, adem, sangat sederhana, dengan batu-batu nisan yang betul-betul sederhana sesuai dengan syariat Islam, sangat jauh dari kesan mewah.
Langsung terbayang di pelupuk mata, andai saya bisa booking satu kapling tipe Family di pemakaman ini, tentu saya, tiga anak saya, 2 orangtua, dan keluarga adik saya (4 orang) nantinya nggak perlu pusing-pusing lagi bertanya mau dimakamkan di mana. Siapa yang mau mengurus makamnya, mesti nyiapin dana berapa, dan lain sebagainya.
Ah, backpackeran ke Karawang saat itu udah buka mata saya lebar-lebar, bahwa sejatinya kita nggak perlu takut dengan kematian. Malah harus dengan sangat serius dan senang hati menyiapkan segala sesuatunya, agar ketika saat itu tiba, kita bisa menyambutnya dengan penuh syukur.
baca juga: Agar Berziarah Kubur tak Lagi Berat