REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Husain Yatmono *)
Menggemaskan apa yang disampaikan oleh Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Budi Waseso bahwa ada pengkhianatan dari dalam bangsa Indonesia sendiri dalam pemberantasan narkoba. Pernyataan ini, beliau sampaikan saat menghadiri deklarasi perang melawan narkoba dari sedikitanya 13 ormas Islam yang bernaung di Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI). (Republika, Kamis 22/12).
Mengapa demikian? Karena beliaulah orang yang diberikan wewenang untuk memberantas narkoba. Sementara, tugasnya tidak bisa berjalan dengan baik karena dihambat oleh sesama pembantu negara. Rasanya apa yang disampaikan oleh Buwas, begitu beliau biasa dipanggil, melengkapi apa yang pernah ramai dibicarakan pasca dieksekusinya terpidana mati kasus narkoba Fredy Budiman.
Dalam kicauannya yang disampaikan oleh aktivis Kontras Harris Azhar, Fredy Budiman mengatakan bahwa selama ini dia menjalankan bisnis narkoba dibantu oleh sejumlah aparat. Freddy memberikan pengakuan bahwa selama menyelundupkan Narkoba ke Indonesia, ia sudah menyetorkan uang sebesar Rp 450 miliar ke BNN dan Rp 90 miliar ke pejabat di Mabes Polri untuk memuluskan Narkoba di Indonesia. Selain itu, pengakuan Freddy oknum petugas dari BNN juga meminta agar pihak Lapas Nusakambangan mencopot kamera pengawas CCTV untuk mempermudah Freddy mengendalikan bisnis peredaran narkoba dari Lapas. Namun, sampai kini penangganan kasus ini berhenti, entah bagaimana kelanjutannya.
Apa yang dilakukan oleh Buwas dengan menggandeng ormas Islam untuk perang melawan narkoba, tentu bukan tanpa alasan. Ini menunjukkan bahwa ormas Islam-lah yang bisa dipercaya untuk membantu memberantas peredaran narkoba daripada yang lain, yang beliau sebut ada pengkhianatan dari dalam. Peredaran narkoba di Indonesia sudah luar biasa jumlahnya, tidak bisa ditangani sendiri oleh BNN dan Kepolisian, apalagi jika terindikasi ada oknum yang memanfaatkan bisnis haram ini. Sementara korban terus bertambah setiap waktu, ibarat fenomena gunung es.
Tentu saja korban terbanyak adalah generasi muda negeri ini yang mayoritas ummat Islam. Kepedulian menyelamatkan generasi inilah yang mendorong ormas Islam bersedia menyambut seruan BNN dalam perang melawan narkoba. Karena, jika generasi muda bangsa ini rusak, rusak pula negeri ini. Tentu saja kondisi ini tidak mungkin dibiarkan, ormas Islam harus turut serta menjaga kelangsungan negeri ini. Ini sekaligus sebagai bukti bahwa umat Islam sangat cinta dan peduli dengan keutuhan negerinya.
Umat Islam tidak rela negeri ini dirusak oleh orang-orang tertentu karena kepentingannya memanfaatkan segala cara agar bisa menguasai negeri ini. Sebagaimana disampaikan juga oleh Panglima TNI Gatot Nurmantyo, dalam berbagai kesempatan bahwa umat Islam adalah benteng terakhir pertahanan negeri ini. Artinya, peran serta umat Islam sangat penting dalam menjaga keutuhan dan kelangsungan negeri ini dari pengaruh berbagai ideologi dan penjajahan negara asing. Upaya memisahkan umat Islam dengan aparat ditengarai sebagai langkah untuk melemahkan kekuatan negeri ini dari pengaruh serangan ideologi asing dan penjajah.
Ancaman neo liberalisasi dan neo imperalisasi ini, pernah disampaikan oleh Panglima TNI Jendral Gatot Nurmantyo dalam menghadiri simposium mewaspadai PKI. Usai memberikan ceramahnya beliau menyampaikan, “Ada yang lebih berbahaya dari PKI, yakni neo liberalisme dan neo kapitalisme. PKI berbahaya, tapi yang lebih berbahaya neo kapitalisme, neo liberalisme,” jelas Panglima di Jakarta, Kamis (2/06/2016).
Beliau menambahkan masuknya narkoba dalam jumlah yang sangat besar ke negeri ini sebagai salah satu strategi perang candu. Strategi ini pula yang pernah dipakai oleh Perancis dan Inggris dalam menggalahkan pasukan Cina (Tiongkok) saat perang pada masa lalu. Hingga akhirnya Cina pun berhasil dikalahkan karena tentaranya menjadi pecandu narkoba, sebagai akibatnya Hongkong dan Taiwan digadaikan. Kini 2 persen atau 5 juta penduduk Indonesia menjadi korban narkoba, ini akan terus bertambah sebagaimana fenomena gunung es.
Data ini dipertegas dengan informasi intelejen bahwa “Barang narkoba yang masuk jumlahnya sudah dalam ukuran ton”. kata Budi Waseso. Bahkan headline Kompas (26/4/2016) telah menulis “Penjara Penuh Napi Narkoba”. Data per 25/4/2016, jumlah tahanan dan narapidana tercatat 187.701 penghuni; 17.827 karena kasus kekerasan kepada anak dan 29.552 kasus pencurian, tapi kasus narkoba tembus angka 81.360. Korban narkoba, yang 2015 saja menembus angka 4,5 juta orang dengan belanja narkoba Rp 63 triliun.
Belajar dari semua kasus di atas, penangganan narkoba harus ada keseriusan dan kesamaan visi dari para pejabat negara. Di tangan merekalah keselamatan dan keutuhan negeri ini dipertaruhkan. Apa yang dikatakan Buwas sebagai pengkhianatan patut kita apresiasi bersama dan harus kita dorong agar negara memberikan tindakan yang tegas. Tindakan tegas ini tidak hanya ditujukan kepada bandar dan pengedar tetapi juga kepada aparat yang terbukti terlibat dalam kasus ini. Penegakkan hukum hanya bisa berjalan dengan sanksi hukum yang tegas sehingga membuat yang lain tidak berani berbuat serupa.
Hukuman mati bagi mereka, pengedar, bandar dan pelindung narkoba sangat tepat dan proses hukumnya tidak perlu lama. Tidak perlu ada grasi Presiden karena mereka nyata anyaman bangsa tidak kalah bahaya dengan terorisme. Kalau terorisme dibentuk pasukan khusus Densus 88, sudah semestinya kejahatan narkoba diperlakukan sama. Apakah jumlah korban sebesar 5 juta atau 2 persen penduduk negeri ini menjadi pecandu narkoba belum cukup? Sudah seharusnya semua pihak turut serta memberantas peredaran narkoba dan mengawasi kinerja aparat dalam menangani kasus narkoba. Selamatkan generasi!
*) Pemerhati Pendidikan dan Sosial Politik