REPUBLIKA.CO.ID, -- Awal tahun 2017, dibuka dengan kasus naiknya tarif dasar listrik (TDL), BBM, pajak pengurusan STNK dan BPKB kendaraan bermotor, dan yang terkahir sesuai dengan rasanya, pedas...Tak ketinggalan harga cabai pun melonjak hingga dipasaran dengan harga jual mencapai Rp 200 ribu, sudah setara dengan harga daging perkilo gram nya.
Menyikapi hal ini, pemerintah mengeluarkan pernyataan yang "nyeleneh" seperti penyataan Mendagri, Enggartiasto Lukita bahwa masyarakat yang keberatan dengan kenaikan harga cabai hari ini untuk menanam sendiri atau mengonsumsi cabai kering (Liputan6.com- Rabu, 4/1/2017).
Lain hal yang dikemukakan oleh presiden Jokowi dalam blusukannya ke pasar Induk Kajen di Pekalongan, menuturkan "Nggak usah beli cabai rawit, belinya cabai yang hijau yang merah juga pedes, sama saja..."
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menyatakan bahwa tingginya harga cabai tidak akan terjadi jika pemerintah jeli dalam mengatur manajemen penanaman cabai. Pemerintah telah mengembangkan kebijakan klasterisasi hanya saja kenyataan dilapangan belum maksimal.
Namun, kebijakan klasterisasi ini haruslah didukung dengan tata kelola panen yang berkesinambungan. Selain itu untuk memangkas distribusi bahan pangan, pemerintah haruslah memberikan fasilitas pascapanen terhadap petani sehingga tidak lagi bergantung pada pengepul-pengepul yang sebenarnya tidak berpihak kepada petani itu sendiri.
Hargai cabai yang melonjak tinggi memang tidak wajardi alami oleh Indonesia yang diberi julukan negeri agraris. Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah seolah cuma sebagai langkah praktis, tidak melalui perancanaan yang matang sehingga praktiknya pun bukan memberi solusi namun menambah masalah baru.
Solusi yang ditawarkan pun hanya menyentuh tataran teknis belum sampai pada akar masalah tersebut. Naiknya hargai cabai lalu solusi menanam cabai sendiri adalah solusi yang tidak rasional. Hal ini merupakan jalan pintas pemerintah yang tidak mau memenuhi tanggung jawabnya dalam mengurusi keperluan dan hajat rakyatnya.
Rakyat dibuat mandiri dan melupakan tanggung jawab pemerintah sebagai pengatur urusan rakyatnya. Belum lagi kenaikan lainnya yang harus dihadapi rakyat. Solusi atau saran yang diberikan seolah sedang mempermainkan kondisi rakyat saat ini dan tidak begitu serius dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan rakyat ini.
Padahal dalam Islam, penguasa dalam hal ini pemerintah adalah sebagai pelayan rakyatnya yang harus mengurusi kepentingan rakyatnya termasuk dalam menyiapkan solusi tuntas atas kebutuhan pokok masyarakat. Karena sejatinya penguasa nantinya akan mempertanggung jawabkan apa yang telah diperbuatnya ketika diberi amanah mengurusi rakyat.
Hadits al-Bukhari dari Abu Hurairah ra: "Jika amanah telah disia-siakan, maka tunggulah kiamat. "Dia (sahabat) bertanya, "Bagaimana yang dimaksud dengan menyia-nyiakan amanah?" Nabi menjawab, "Ketika urusan itu diserahkan kepada orang yang tidak ahlinya, maka tunggulah kiamat."
Pemimpin yang adil dan amanah hanya akan terlahir dari sistem yang baik karena mengikuti tuntunan dan aturan dari Yang Maha Baik, Allah SWT, dan pemerintah yang khianat lahir dari sistem/aturan yang mengesampingkan tanggung jawab menjadi sebuah kepentingan.
Alih-alih mengurusi urusan rakyat malah memberikan solusi yang tidak masuk akal dan mengabaikan urusan rakyat.
Oleh: Nurhayati