REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Farhan Abdul Majiid *)
Keriuhan bangsa kita akhir-akhir ini, sering dikaitkan dengan masalah merawat kebinekaan. Opini yang dibangun, umat Islam tidak bisa menjaga perbedaan karena tidak menyukai agama dan etnis tertentu. Sehingga, kebinnekaan itu menjadi semacam solusi yang ingin ditawarkan. Sebenarnya, upaya menjaga kebinnekaan itu tidak masalah. Hanya saja, jika itu yang menjadi fokus bersama,maka akan menjadi kurang tepat.
Adanya perbedaan di bangsa Indonesia merupakan sesuatu yang tidak perlu diperdebatkan. Siapa pun tahu, Indonesia adalah negeri yang dibangun di atas ribuan pulau, yang memiliki keanekaragaman budaya yang sangat majemuk.
Tapi, jika perbedaan saja yang dikemukakan, kita akan selalu mengingat dalam ranah berpikir kita, bahwa satu dengan yang lainnya berbeda. Ada sekat pembeda antara satu golongan dengan golongan lain. Kalau itu saja yang menjadi fokus kita, akan ada hal besar yang kemudian dilupakan. Yakni, menjaga persatuan.
Menjaga persatuan adalah pekerjaan bersama seluruh elemen bangsa. Bukan semata harus diwujudkan pemerintah, ia menjadi tugas bagi rakyat Indonesia.
Saat ini, sering dimunculkan opini bahwa umat Islam tidak menjaga kebinnekaan itu. Aksi 411 dituding membawa kerusuhan. Padahal, bila mau jujur dan berpikir jernih dalam melihat keseluruhan aksi, hanya sesaat saja itu terjadi dibandingkan kesejukan yang dirasakan sejak dimulainya aksi.
Aksi 212 pun dicap dimanfatkan untuk makar. Tuduhan ini pun didukung oleh penangkapan sejumlah orang yang disebut sebagai dalang dari makar tersebut. Hingga kini, publik masih bertanya, apa benar mereka merencanakan makar. Sebab, bukti yang disajikan tidak kuat.
Kedua aksi itu, bila ditinjau dalam perspektif umat Islam, sesungguhnya adalah sebuah upaya besar dalam menggalang persatuan umat Islam di Indonesia. Bila selama ini umat Islam di Indonesia dicitrakan tersekat dalam ormas maupun afiliasi politik, terbukti bahwa aksi itu menyatukan dalam sebuah tuntutan bersama, segera adili penista agama.
Gayung pun disambut, setelah aksi tersebut, BTP akhirnya ditetapkan menjadi tersangka penistaan agama. Namun, menjadi aneh adalah sejumlah pemberitaan yang menyebutkan, bahwa aksi itu didorong oleh sentimen negatif terhadap etnis dan agama tertentu. Sebuah tuduhan yang sebenarnya mudah untuk dibantah, karena banyak orang yang beretnis dan beragama lain yang menjadi pimpinan daerah maupun menteri, tetapi tidak dipermasalahkan selama mereka tidak mengganggu umat.
Akan tetapi, aksi 411 dan 212 itu justru dibuat semacam aksi kontra yang membawa label menjaga kebhinnekaan. Seolah-olah, aksi 411 dan 212 tidak mencerminkan falsafah hidup bangsa Indonesia tersebut. Dibuat aksi tandingan yang membawa tema ‘Kita Indonesia’. Adanya reaksi semacam ini, memberikan pandangan seolah-olah aksi 411 dan 212 tidak mencerminkan Indonesia.
Apakah benar umat Islam itu tidak se-Indonesianis orang nasionalis? Sebenarnya, umat Islam di Indonesia benar-benar mencintai negerinya.
Terbukti, kiprah umat Islam tidak pernah diragukan kebaikannya semenjak masa perjuangan hingga saat ini. Sejak masa perjuangan, santri dan kiyai di pesantren banyak yang meggelorakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Pahlawan-pahlawan pun banyak yang menggelorakan semangat jihad dalam merebut tanah air dari para penjajah.
Pada masa kemerdekaan, kita tentu akan melihat banyak ulama yang mencurahkan perhatiannya pada negeri ini. Hingga saat ini, umat Islam memberi kontribusi besar terhadap tanah air kita, tanpa mengesampingkan peranan dari umat beragama lain.
Maka, kita patut heran apabila aksi yang membela Islam ini dituduh sebagai pembawa keriuhan. Sebab, tidak akan ada aksi semacam ini bila tidak ada pemantiknya. Alih-alih menuduh, yang justru akan kembali menimbulkan reaksi baru dari umat, lebih baik memadamkan pemantiknya.
Tak hanya di dunia nyata. Di dunia maya, akun-akun anonim banyak dimanfaatkan untuk kepentingan pihak tertentu. Untuk menaikkan peringkat di trending topic, kini lumrah dijumpai banyak akun buzzer yang tanpa identitas jelas. Mereka siap menyerang siapa pun yang berbeda pendapat atau yang berada di pihak seberang. Seolah-olah, semua yang berbeda pendapat dengan dia ialah orang yang salah. Gejala ini berbahaya, karena ada di hampir semua kubu, meski intensitasnya berbeda.
Ancaman yang timbul dari langkah buzzer ini tidak hanya akan berdampak di dunia maya. Di dunia nyata, mereka dapat menimbulkan pembelokan opini. Seolah-olah, dengan adanya banyak dukungan di dunia maya, meskipun itu dari akun anonim, itu artinya ia didukung pula di dunia nyata. Perlu diwaspadai setelah pilkada ini tuntas, akan ada gerakan dari buzzer pihak yang kalah, akan menggiring opini, dengan cara yang tidak pantas. Menyebar kabar burung, mencatut lembaga, hingga menuduh tanpa bukti.
Hal semacam ini, tentu akan menyulitkan adanya persatuan. Berbeda pilihan di dalam pemilu itu sangat lumrah. Tidak ada masalah dengan berbeda pendapat. Akan tetapi, bila perbedaan itu kemudian dipermasalahkan dengan cara yang tidak etis, itulah yang mengancam persatuan setelah pesta demokrasi ini usai.
Di sinilah sepatutnya kita mewacanakan sebuah gerakan. Bukanlah lagi menjaga perbedaan semata. Berbeda itu tiada masalah, sebab itulah fitrah. Pekerjaan kita ialah bagaimana mengolaborasikan perbedaan itu menjadi sebuah persatuan yang akan membawa kemakmuran bagi negeri ini. Jika kita hanya mempermasalahkan yang berbeda, itu akan menguras energi kita untuk suatu hal yang tidak penting.
Sedangkan, tugas kita bukan sebatas pada pilkada, ada banyak pekerjaan yang perlu dituntaskan dalam membangun negeri ini. Pekerjaan itu hanya dapat berjalan dengan baik apabila kita telah bersatu bersama. Oleh sebab itu, bila kita ada masalah dalam persatuan akhir-akhir ini, selesaikanlah pembawa masalah itu secara baik, tanpa harus mendiskriminasi akan perbedaan.
Berbeda itu wajar, bersatulah yang utama. Bersatulah di atas perbedaan, agar kita dapat bekerja sama menuju perbaikan. Seperti itulah sebaiknya kita memaknai Bhinneka Tunggal Ika.
*) Kepala Departemen Al Hikmah Research Center, Forum Studi Islam FISIP UI