REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ofis Ricardo, S.H., M.H. - Direktur Eksekutif Welfare State Indonesia
Hak untuk memilih dan dipilih merupakan hak asasi yang dijamin Konstitusi. Pengakuan ini memberi ruang bagi rakyat bahwa rakyat sama kedudukannya dalam politik dan pemerintahan. Di sisi lain, pengakuan ini mengokohkan bahwa rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam membentuk pemerintahan itu.
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 setelah amandemen menyebutkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Secara filosofis, makna dari pasal ini rakyatlah yang berdaulat terhadap negara, dan secara yuridis kedaulatan itu dilaksanakan secara perwakilan melalui para wakil rakyat yaitu DPR serta DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota.
Kedaulatan yang melekat pada rakyat tidak muncul secara tiba-tiba melainkan karena rakyatlah sebagai pemilik negara. Sekaligus rakyat sebagai pemilik semua kewenangan untuk menjalankan fungsi kekuasaan negara itu, baik kekuasan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Karena dengan suara rakyatlah kekuasaan itu memiliki legitimasi yang sah secara hukum dan pemerintahan.
Namun, hak yang melekat pada rakyat itu bukan tanpa konsekwensi. Dalam kaidah umum, menjalankan suatu hak akan menimbulkan suatu tanggung jawab. Begitu pula dengan hak politik yang dimiliki rakyat, hak di satu sisi menimbulkan tanggung jawab pada sisi yang lain. Sehingga, hak rakyat untuk memilih dan dipilih yang dijamin Konstitusi secara moral memiliki konsekwensi dalam penggunaannya.
Hak memilih dan dipilih
Pasca reformasi bergulir banyak tuntutan untuk memperluas hak rakyat untuk memilih dan dipilih. Imbas dari tuntutan ini digulirkannya sistem pemilihan langsung untuk Presiden dan Wakil Presiden serta pemilihan Gubernur, Bupati/Walikota.
Sangat jauh berbeda sebelum amandemen dimana pemilihan dilakukan secara tidak langsung. Pada periode ini, sistem pemilihan melalui lembaga perwakilan seperti MPR untuk Presiden dan Wakil Presiden serta oleh DPRD untuk Gubernur, Bupati/Walikota.
Perubahan fundamental ini disuarakan karena ketidakpuasan rakyat terhadap hasil dari pemilihan tidak langsung tersebut. Pemilu dianggap hanya mementingkan kepentingan segelintir elit dan mengabaikan kepentingan rakyat yang lebih besar.
Jabatan publik yang dipilih secara langsung yang diamanahkan UUD 1945 yaitu (1) Presiden dan Wakil Presiden, (2) Anggota DPR RI, (3) Anggota DPD RI, (4) Anggota DPRD Provinsi, Kabupaten, Kota. Selain memilih jabatan posisi tersebut, UUD 1945 mengamanahkan Gubernur, Bupati, Walikota dipilih secara demokratis yang kemudian UU menerjemahkan kata demokratis tersebut dengan pemilihan langsung.
Pemilihan secara langsung oleh rakyat dianggap lebih meningkatkan kualitas partisipasi serta kedaulatan rakyat di satu pihak dan keterwakilan (representativeness) elit di pihak lain, karena demikian dapat menentukan sendiri siapa yang dianggap pantas dan layak yang akan menjadi pemimpinnya.
Kondisi ini sangat berbeda dengan UUD 1945 sebelum amandemen yang menyatakan kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Pergeseran perubahan pelaksana kedaulatan ini membawa dampak ketatanegaraan dimana MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara. MPR menjadi lembaga negara yang secara hierarki sejajar dengan lembaga tinggi negara lainnya seperti Presiden, DPR, DPD, MA, MK, dan BPK.
Dampak bagi MPR dari perubahan hierarki ini menjadikan MPR tidak lagi berwenang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. Lebih jauh, hal ini menyebabkan terjadinya pergeseran pertanggungjawaban Presiden dan Wakil Presiden dari MPR menjadi kepada rakyat. Hal yang sama juga terjadi di tingkat lokal dimana DPRD tidak lagi berwenang memilih Gubernur, Bupati/Walikota serta bertanggung jawab langsung kepada rakyat.
Pemilu dan aspirasi rakyat
Menyandingkan hak rakyat untuk memilih dan dipilih dengan pertanggungjawaban rakyat terhadap pilihannya adalah sama pentingnya. Namun hanya sebagian rakyat yang memahami hal ini. Pemilu hanya dianggap sebagai agenda rutin lima tahunan dan tidak lebih dari itu. Padahal, pemilu sebagai sarana untuk menyalurkan aspirasi rakyat dan memilih pemimpin yang sesuai dengan kehendak rakyat.
Dampak salah memilih pemimpin ini pun tidak main-main. Kesalahan dalam memilih pejabat publik akan berimplikasi pada munculnya kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai dengan kehendak rakyat yang cenderung abai terhadap janji dan program selama kampanye. Bahkan tidak sedikit pejabat publik yang melakukan praktik korupsi, dan tersangkut kasus hukum lainnya.
Kelalaian pejabat publik dalam melaksanakan janji dan program selama kampanye tidaklah memiliki dampak secara hukum publik maupun hukum privat. Faktanya seorang pejabat publik yang mengingkari janji dan program selama kampanye tidak dapat digugat secara perdata maupun dituntut secara pidana di muka pengadilan. Ini pulalah yang menyebabkan pejabat publik tidak merasa terikat untuk menepati janji dan programnya.
Karena janji dan program yang disampaikan saat kampanye tidak berdampak secara hukum maka seharusmya membuat rakyat lebih berhati-hati menggunakan hak pilihnya. Karena instrumen hukum kita tidak mengatur bilamana pejabat publik mengingkari janji dan program kampanyenya sebagaimana halnya dalam hukum perdata.
Pelaksanaan janji dan program kampanye hanya memiliki pertanggungjawaban secara moral (etika). Keharusan dalam melaksanakan janji dan program tersebut kembali kepada pejabat publik itu apakah mau melaksanakannya atau hanya menjadikannya sebagai pemanis untuk mendulang suara.
Tanggung jawab dalam demokrasi
Jimly Asshiddiqie dalam bukunya Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi mengutip perkataan Schattscheider yaitu “Political parties created democracy”. Mencermati perkataan Schattscheider ini partai politik yang sebenarnya yang menentukan demokrasi. Keberadaan partai politik sebagai instrumen yang tidak dapat dielakkan dalam kehidupan demokrasi itu sendiri.
Bila diibaratkan, peran partai tak ubahnya seperti jembatan, ia menjadi perantara antara rakyat dengan lembaga negara. Partai lah yang menjadi instrumen masyarakat secara terorganisasi yang kemudian menjembati rakyat dengan lembaga negara.
UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik menyebutkan partai memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara adalah sebuah hal yang tidak terpisahkan dengan kerja-kerja mereka yang terwujud pada pejabat publik yang telah mereka usung dalam pemilu.
Dukungan yang diberikan rakyat melalui partai dan pejabat publik tersebut bersifat imperatif yaitu wajib dengan sendirinya. Partai dan pejabat publik memiliki keharusan untuk memperjuangan aspirasi pendukungnya. Rakyat sebagai pemilih hak politik, sosial, dan ekonomi berhak untuk mendapatkan keuntungan dari pejabat publik yang secara langsung didukung rakyat.
Pejabat publik yang duduk dalam kekuasaan itu harus menjamin kekuasaan yang diemban diselenggarakan menurut Konstitusi dan UU, dengan tetap mempertanggungjawabkan kekuasaannya itu kepada rakyat melalui prinsip akuntabilitas, transparansi, dan cara kerja yang partisipatoris. Huntington menyebut ini sabagai akuntabilitas publik yang merupakan salah satu dari parameter terwujudnya demokrasi, disamping adanya pemilihan umum, rotasi kekuasaan dan rekrutmen secara terbuka.
Pejabat publik yang telah terpilih harus menyadari bahwa dirinya dapat menjadi pejabat karena adanya dukungan rakyat yang secara imperatif harus menggunakan kekuasaannya sebesar-besarnya untuk rakyat.
Disisi lain, rakyat sebagai pendukung pejabat publik harus juga mempertanggungjawabkan pilihannya dengan terus mengingatkan dan mengkritik pejabat yang telah ia pilih sebagai bentuk pengawasan atas pilihannya itu. Bila pengawasan ini tidak dilakukan maka yang akan terjadi ialah lahirnya tirani mayoritas dimana aspirasi minoritas diabaikan.
Dalam demokrasi, menjadikan kekuatan politik mayoritas dalam mengambil keputusan sebuah hal yang lazim sepanjang hal tersebut sesuai dengan kehendak umum. Sebuah kebijakan yang tidak sesuai dengan kehendak rakyat maka akan berdampak luas bagi seluruh rakyat.
Inilah alasan mengapa rakyat harus bertanggung jawab terhadap pilihan politiknya. Pejabat publik yang telah dipilih yang duduk dalam pemerintahan, kebijakannya akan berdampak luas baik bagi yang memilih maupun bagi yang tidak memilih pejabat itu. Begitulah demokrasi, hasil dari sebuah demokrasi berlaku bagi seluruh rakyat, terlepas dari apakah rakyat tersebut memilih pemimpinnya atau tidak.
Ataupun cakap atau tidaknya pemimpin itu dalam memerintah, semua rakyat akan merasakan dampak baik atau buruknya dari kepemimpinan itu, tanpa terkecuali.