Sabtu 18 Mar 2017 14:07 WIB
(Pola Pikir yang tak Sebanding dengan Keadaan Umat akan Menjadi Kapas)

Penyempitan Agama

Kapolri Jenderal Tito Karnavian (tengah) berpidato pada acara Istigosah Ulama, Umaro dan Masyarakat Banten di Mesjid Albantani, di Serang, Banten (Ilustrasi)
Foto: Antara/Asep Fathulrahman
Kapolri Jenderal Tito Karnavian (tengah) berpidato pada acara Istigosah Ulama, Umaro dan Masyarakat Banten di Mesjid Albantani, di Serang, Banten (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Muhammad Dimyathi *)

Agama adalah pedoman hidup bagi setiap penganutnya. Mereka meyakini masing-masing yang diyakininya. Ada pemandu dan ada yang di pandu. Ada buku pedoman sebagai pemandu secara defacto. Ada pula pemandu yang bersifat aktif dan reaktif sebagai kepanjangan dari buku panduan yang tertulis.

Sementara negara merupakan hal yang perlu di sepakati keberadaannya, yang mempunyai asas yang diatur dengan kesepakatan pula. Oleh karenanya, tak ada negara yang terbentuk hanya karna pengaruh satu elemen saja, melainkan hasil dari kobinasi dari beberpa elemen yang ada. Maka, dengan tercapainya kesepakatan, terbentuklah sebuah Negara yang keberadaannya di akui secara umum.

Hal ini yang membedakan antara agama dan negara. Tak ada kesamaan, akan tetapi ada kesepemahaman prinsip antara agama dan negara. Agama tak perlu dimusyawarahkan untuk membentuk agama tertentu, tapi negara harus disepakati untuk menjadi negara tertentu yang diakui secara defacto. Agama ya agama, negara ya negara, tapi harus ada keselarasan antara agama dan negara. Tak mungkin sebuah negara terbentuk tanpa adanya keselarasan dengan agama tertentu. 

Indonesia bukan negara Islam atau negara non-Islam, meskipun secara keseluruhan umat Islam di Indonesia mendominasi atau mayoritas. Islam sebagai agama mayoritas maupun minoritas, tetap mempunyai eksistensi keagamaannya meskipun tanpa dijadikan legalitas atau lebel dari sebuah Negara.

Semenjak awal mulanya, Islam diturunkan Allah ke muka bumi tidak ada historis yang menyatakan bahwa haruslah islam dijadikan konstitusi sebuah Negara. Tapi, jelas perintahnya untuk sebagai asas kemanusiaan. Apabila Islam dijadikan sebuah konstitusi kenegaraan, maka tak ada bedanya dengan mempersempit ruang lingkup agama Islam itu senidri.

Islam tidak ada batas dalam mengatur kehidupan dengan di kontitusionalkannya agama Islam secara sistem kenegaraan sudah berarti menegaskah bahwa Islam hanya bertujuan membentuk negara yang berbasis hukum Islam. Padahal, sebenarnya tidak demikian, Islam cangkupannya cukup luas. Tak ada agama yang berlebel negara.

Contohnya, ada doa-doa tertentu ketika masuk WC atau lain sebagainya. Hal tersebut tak perlu ditulis secara eksplisit dalam aturan tertentu, cukup diketahui saja bahwa Islam mengatur hal-hal kecil yang tak diatur dalam agama-agama lain.

Logikanya, kalau hal kecil saja diatur, apalagi hal besar seperti negara. Oleh karenanya, cukup kiranya untuk sebagai instrument kenegaraan saja Islam itu tak perlu melegalkan diri secara konstitusional. Yang terpenting aturan yang diterapkan dalam sebuah negara tertentu tak bertentangan dengan norma-norma agama Islam.

Asas sebuah negara tidak harus dengan asas agama tertentu yang di konstitusikan. Apapun negaranya, apapun agamanya, saya menentang keras untuk menjadikan agama sebagai aturan hukum secara konstitusional. Sebab dalam negara manapun, tak ada umat yang sejenis keyakinannya, mesti ada umat agama lain meskipun statusnya sebagai minoritas. Apa landasan saya berkata demikian? Bahwa negara terbentuk karena ada kesepakatan yang bersifat musyawarah, tak akan ada negara yang terbentuk bersifat sepihak.

 

Kekuasaan yang bersifat otoriter akan mengalami kehancuran meskipun menggoda. Tapi, negara yang bersifat demokrtatis dalam artian musyawarah, maka akan menjadi negara yang kuat meskipun banyak godaannya. Banyak sistem yang digadang-gadang menjadi asas sebuah Negara. Hal ini tergantung terhadap penganutnya.

Penganut agama yang baik adalah mereka yang mau menjadikan dirinya loyal terhadap sesama manusianya terhadap sesama makhluknya. Bukan umat yang egois dan fanatik. Prinsip itu harus tapi loyalitas dalam bernegara dan bermasyarakat tak boleh diabaikan.

Menjadi masyarakat dan penganut agama yang baik adalah sebuah prinsip yang menjadi kesepakatan bersama. Ketika berkonstitusi dengan agamanya masing-masing, maka akan ada rasisme dan pemetakan dalam masyarakat. Urusan sosial jangan disamakan dengan iman dan keyakinan, sebab keyakinan dan iman tidak bisa dilakukan secara berjamaah. Sementara sosial adalah suatu perkara yang harus dilakukan dengan berjamaah sebab adanya kontrak antar individu. Beda halnya dengan agama yang mana kontrak sosialnya antara Tuhan dan dirinya dengan keyakinan dan iman.

Agama merupakan ruhnya sementara negara adalah jasadnya. Dua hal yang berbeda, tapi saling mengisi dan melengkapi, tanpa keduanya tak akan ada mobilitas kehidupan yang tampak. Penyempitan pola pikir yang mencoba merasionalkan segala sesuatu tanpa mengklasifikasinya terlebih dahulu adalah keputusan konyol yang diambilnya.

*) Mahasiswa Pascasarjana STAINU Jakarta Semester II

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement