Senin 10 Apr 2017 09:13 WIB

Gelar Sunan dan Label Mulia Penguasa

Yusuf Maulana
Foto: dokpribadi
Yusuf Maulana

Oleh Yusuf Maulana*

Belum hilang dari torehan di buku sejarah tatkala Soekarno diberi gelar “waliyyul-‘amri dharuuri bii asy-syaukah” pada 1953 oleh para politisi dan ulama di haluan Aswaja Nusantara. Enam dekade kemudian, dari rahim jamiyah yang sama, sebagian anak keturunannya sepertinya “terinspirasi” bertindak sama untuk penguasa Jakarta sekarang. Lewat gelar “sunan”, sang oknum bertabik seperti tanpa syak wasangka atau kajian mendalam. Begitu yang dikira banyak saudaranya. 

Bila sebagian besar muslimin enggan mendukung, bahkan sinis, pada tindakan oknum elit sayap ormas tersebut, amatlah bisa dimengerti. Tradisi di kalangan jamiyah tersebut untuk melakukan pendekatan pragmatis dan jangka pendek bukan kejadian baru. Bagi para pendukung politik berhaluan “Islam modernis”, pendekatan tersebut kadang dinilai menyakitkan idealisme perjuangan.    

Ahmad Syafii Maarif (1996), dalam Islam dan Politik; Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965) memberikan perspektif situasi tersebut sebagai berikut:

“Dalam tradisi Islam klasik, sikap loyal ulama terhadap penguasa zalim sekalipun bukan kejadian yang aneh, karena selalu saja dicarikan pembenaran agama untuk mendukung sikap semacam itu. Menurut pertimbangan saya, sikap ini masih akan terus berlanjut selama ‘hadits-hadits politik’ yang menjadi dasar sikap itu tidak ditempatkan dalam kerangka ajaran Al-Quran tentang doktrin amar ma’ruf nahi munkar dalam posisi yang tepat dan benar. Kegagalan menempatkan doktrin AI-Quran menghadapi isu-isu politik yang selalu berkembang, dapat dikatakan sebagai ketidakmampuan para pemimpin umat membaca situasi dengan tepat, sehingga doktrin agama lebih banyak dipakai untuk tujuan-tujuan politik jangka pendek” (halaman 63-64). 

Sebagian pendukung pendekatan pragmatis memberikan istilah “gaya politik ta’ridh”. Ada legitimasi keagamaan di balik pendekatan yang di mata saudara seimannya di haluan berbeda begitu “menjijikkan”. Alih-alih sekadar menjual ayat-ayat, ataupun hadits, mereka menyandarkan satu pendekatan dakwah di jantung kekuasaan langsung! Seberapa berlegitimasi, konsisten, berwibawa dari klaim-klaim pendukung legasi gaya politik tersebut, haruslah dilihat tidak dalam jangka pendek bahkan menengah belaka. 

Niat sebagai penyeimbang di kekuasaan zalim era Soekarno, dengan masuk sebagai anasir “Islam” dalam Nasakom, apakah untuk umat Islam secara luas ataukah sekadar kelompok belaka? Nah, penyelidikan menguji pertanyaan semacam ini lebih konkret dan membuktikan kesungguhan politisi Islam berjuang. Sebab, menyoal pendekatan berpolitik dengan melibatkan terminologi keislaman akan berputar pada soal strategi pemikiran. Dan bicara strategi pemikiran (fiqh, di dalamnya) akan terbuka ruang luas untuk berbeda pandangan.

Seyogianya berada di dalam (pragmatis) ataukah di luar (idealis) tidak serta-merta langsung menempatkan aktor politik dari kelompok islamis berada di lajur benar dan pasti diridhai Allah. Bisa jadi yang di dalam lebih berkah untuk memberikan warna, meski amat rentan berkalang syubhat. Tidak juga yang di luar kekuasaan otomatis terbebas dari syubhat atau dosa. Letak benar atau tidak, diridhai Allah atau tidak, selain dengan metode yang bersandarkan pada nash, juga pembuktian niatlah yang menentukan.    

Dalam kenyataan sejarah, memang yang berada di balik barisan “pemuja-muji” kekuasaan menikmati posisinya. Sayangnya, posisi demikian tidaklah permanen. Seperti dicatat Syafii Maarif, “Dalam sejarah Indonesia kontemporer, baik kelompok umat yang memilih budaya ‘penyesuaian diri’ maupun yang mendukung sikap ‘idealisme martir’, ternyata sama-sama terpelanting dari pusat kekuasaan politik Indonesia pada periode berikutnya, yakni Demokrasi Pancasila, sekalipun sejak enam tahun terakhir tampak ada perubahan positif” (halaman 63-64). 

Memang sepintas sama-sama tak menguntungkan. Atau malah yang pernah menikmati kekuasaan akan berseloroh getir begini, “Masih mending kami, yang pernah dapat jatah kekuasaan.” Hanyasanya, apakah ukuran keberkahan berjuang dalam Islam semata-mata dari ukuran seperti itu? 

Salah besar ternyata. Pandangan “terpelanting” dalam amatan banyak pihak ketika bicara kekuatan politik islamis adalah masih kuatnya pendekatan materi. Artinya, keberhasilan atau kegagalan diukur dari seberapa banyak besaran kekuasaan yang dimiliki aktivis politik islamis. Variabel keberkahan, ketenangan jiwa di sebalik idealisme martir misalnya, tidak dianggap. Padahal, dalam kenyataan di lapangan, mereka yang disebut barisan idealisme martir pun malah bangga, hingga anak keturunannya kini, tak memandang kekalahan akibat partainya dibubarkan (Masyumi) ataupun berkali-kali dikerjai penguasa (semasa Orde Baru). Yang penting dan utama adalah berjuang sesuai ruh agama, tanpa mengorbankan dan menggadaikan ayat; begitu slogan bersahaja mereka.

Misi menjadi representasi kepentingan dan penjaga aspirasi umat di masa kekuasaan tiran lagi zalim jaya-jayanya mestilah dihargai. Ada baiknya pengarifan ini diperbuat untuk menyikapi sebagian muslimin di masa lalu atau sekarang. Perbedaan dan ketidaksukaan kita tidak perlu terlampau diartikulasi dengan sikap berlebihan. Mereka yang memilih pragmatis, semoga saja diniati demi perjuangan umat dan umat. Bukan kelompoknya belaka, apalagi pribadi elit. Seturut itu, pihak yang antipati gaya politik ta’ridh sebaiknya juga tidak perlu melepaskan tawadhu dan mudah menyesatkan kelompok. Yang dikritik dan kalau memang sampai disesatkan cukuplah tindakan; tindakan yang diperbuat oknum pula. Ukhuwah islamiyyah mesti dijaga agar mereka yang masih merasa perlu melakukan tradisi ta’ridh juga memahami bahwa saudara seimannya bukanlah memusuhi ketika melakukan serangan kritik bertubi-tubi. 

Di sisi lain, mereka yang memilih berintim dengan kekuasaan sepatutnya  cerdas jangka panjang dan brilian membaca zaman. Tidak hanya memperturutkan tren dan kumulasi kepentingan jangka pendek. Tak elok melabel tanpa sebuah kajian runut dan komprehensif. Bila pemberian gelar kehormatan doktor honoris causa dalam dunia akademis saja berteraskan kajian mendalam oleh tim, apatah lagi dalam pemberian sebuah organisasi keislaman. Ada adab dan budaya ilmu yang panjang dalam Islam untuk soal seperti ini. Jadi, apakah arif, misalnya, menyebut seseorang di kekuasaan sebagai penerima pantas atribut kemuliaan dari andilnya yang dilihat sepintas lalu dalam program tertentu yang melibatkan banyak pihak?   

Untuk itulah, tidaklah bijak sekadar merasa dakwaan diri paling islamis dan memiliki sandaran keilmuan terbenar hingga setiap akrobat politik senicayanya berturutkan dalil agama. Jangan sampai klaim agama malah untuk menutupi misi profan, ambisi politik. Khazanah kesufian dalam pesantren yang biasa diagungkan mestilah diresapi untuk praksis politik. Adakah kritik efektif demi kebaikan kepada penguasa zalim dan tiran itu mesti berarti dan selalu bermakna sebagai merapatnya kami ke tengah kekuasaan, lantas memberikan atribut-atribut kemuliaan? 

Dalil boleh saja ditebarkan. Tapi apakah hujan argumen dan saling membela putusan itu yang dikehendaki bila umat pula yang akhirnya tersakiti oleh penguasa yang zalim tadi? Di sinilah refleksi setiap tindakan politik dari aktor-aktor politik islamis patut dikuatkan. Tidak berorientasi miopis,melihat dari jarak dan jangka dekat suatu taktik perjuangan. n

*Pengkaji Pemikiran Islam

,

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement