REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Aji Teja H *)
Rakyat Korea Utara menghadapi momentum ulang tahun Kim II-Sung yang jatuh pada 15 April 2017 di tengah gemuruh kondisi geopolitik yang memanas di beberapa penjuru teritori Korut. Ulang tahun Kim dikenal sebagai Hari Matahari (The Day of Sun) dalam istilah korea disebut T’aeyang-JOL yakni libur umum tahunan mengenang hari lahir mantan dan pendiri Korut. Maknanya adalah Kim diposisikan sebagai Matahari tatkala setiap tahun kelahirannya diperingati sebagai wujud pentingnya Korea Utara yang telah didirikan itu.
Koneksi negara dengan pemimpin pertama itu, sangat dieratkan pada jembatan peringatan Hari Matahari ini. Kim seolah menjadi harapan pertama yang menaungi rakyat Korea Utara dalam memberlangsungkan kehidupan kemasyarakatan sejak didirikannya Korea utara. Momentum ini tentu saja sepadan dengan upaya untuk memunculkan kehebatan-kehebatan Korea Utara sebagai negara yang kuat. Maka, tidak heran berbagai pertunjukan militer besar-besaran sering dipertontonkan pada Hari Matahari ini.
Berdasarkan laporan AFP, ratusan truk militer dan tentara berbaris di tepi Sungai Taedong. Persiapan ini, tentu mengawali pawai menyambut Hari Matahari melalui Ibu kota Korea Utara sebagai bentuk penunjukan kekuatan militer Korut. Sejumlah jurnalis asing mendapati perbincangan di Pyongyang tak lebih dari pembahasan tentang perang. Hal ini mengindikasikan bahwa rakyat Korut paham betul akan kondisi ini meski hari libur nasional Hari Matahari menunjukan hal yang kontras dari kondisi semestinya.
Kepahaman ini tentu menjadi atmosfir yang memberikan kumparan melecut bagi rakyat Korut akan optimisme perang. Karena, hadirnya Korea Utara dengan berbagai pertujukan kekuatan militer menjadi semangat tersendiri bagi rakyat Korut dalam memposisikan diri terhadap lawan-lawan negaranya.
Perlu dicermati pula bahwa kondisi Korut berada pada provokasi besar-besaran AS. Rekayasa kondisi diciptakan AS memperkeruh pusat kerumunan rakyat Korea Utara dalam menentukan, apalagi menghadapi musuh bersama. Rakyat Korut terus berada pada provokasi perang terhada AS sejalan dengan penguasa, Kim Jong-Un. Hal ini ditunjukan dengan aktivitas pelatihan gabungan antara AS dan Korea Selatan, mendekatnya kapal induk AS pekan ini menuju perairan Korea setelah pertemuan presiden Xi dengan Trump pada Kamis-Jum’at, minggu lalu.
Pasca-itu pula, pada 15 April 2017, Cina memberikan peringatan kepada Korea Utara atas aktivitas uji coba nuklirnya yang dapat memicu perang di kawasan tersebut. Jauh dari pada itu, Cina telah mengirimkan 150 ribu tentara dan pasokan medis di perbatasan Korut sebagai antisipasi serangan AS atas Korut. Atmosfir ketegangan membentuk pada langit konstelasi asia pasifik setelah AS menyeret serangan balasan di Suriah sebagai wujud intimidasi terhadap Korut.
Di tengah-tengah kondisi tegang ini, Menlu Cina Wang Yi memberikan stetmentnya “Bila perang terjadi, hasilnya adalah kekalahan untuk semua orang, tak akan ada puhak yang menang”. Sebagaimana usulan moderat Cina dalam menurunkan ketegangan dan provokasi Korut, tampaknya statement ini masih berada pada koridor yang dibuat Cina sehingga mengeliminisasi AS sebagai kekuatan dominan nantinya. Padahal, telah diketahui dengan jelas bahwa AS mampu mengintimidasi Korut, menabrak veto Cina atas Suriah dan mendahului PBB. Dalam posisi ini jelas, Cina berada pada situasi yang tengah dijerat oleh kesibukan teritorinya terkhusus dengan bidang yang mendominankan “arah pikir” Cina yakni ketegangan secara militer. Upaya ini teramini dengan pengerahan 150 ribu tentara Cina ke perbatasan.
Meski situasi ini melingkar mengerumuni Korut, Cina turut dalam kecaman AS itu dan berada pada lajur bidikan Trump demi menekan kekuatan Cina di Asia. Namun demikian, bagaimanapun tarik ulurnya kepentingan AS dan Cina, bagi rakyat Korut tak ada soal dan tidak bisa menjamah permainan yang terjadi di atas ring langit-langit Korut ini. Yang terlihat hanyalah “Hari Matahari”.
Kenampakan itu tentu saja membawa petaka bagi rakyat Korut yang tak tahu menahu apa yang terjadi sesungguhnya. Rekayasa atmosfir di Korut dengan perbincangan perang, mengelilinginya menjadikan realitas palsu akan hal yang sebenarnya terjadi. Rakyat korut harus berdiri dibelakang Kim Jong-Un yang justru menjadi aktor proksi atas pengkondisian kawasan yang dibuat oleh AS sendiri sejak terbelahnya Korea menjadi dua wilayah. Rakyat Korea berada pada payung pemaksa Kim Jong-Un, meski Hari Matahari turut memberikan rasa optimisme dan sense of belonging maupun nasionalisme akut rakyat Korea Utara terhadap negara di bawah kendali Kim Jong un.
Memang demikianlah, realitas rakyat Korut yang telah terisolasi dua pita, pertama oleh negaranya sendiri dengan kooptasi tangan besi para pemimpinnya dan doktrin Juche. Dengan prinsip manusia menguasai segala sesuatu dan memutuskan segala sesuatu dan ditopang keyakinan akan percaya pada kemampuan sendiri. Sedangkan pita kedua adalah isolasi dari pergaulan internasional yang berjaring mengikuti pola pasar bebas. Walau akhir-akhir ini kepemimpinan Kim tengah dalam upaya meliberalisasi dalam ekonominya sebagaimana Cina. Terlepas dari hal itu, rakyat Korea berada pada kungkungan yang mengenaskan, dan tengah berada pada ancaman yang mematikan dalam lingkar permainan persaingan negara-negara dominan baik secara regional maupun global seperti AS.
Pita kedua yang mengisolasi rakyat korea tiada lain diakibatkan oleh atmosfir dunia yang telah terbentuk oleh keserakahan materil dan meraih kedudukan pertama demi menguasai aspek itu. Alhasil, berbagai negara yang telah ‘terlanjur’ mendapatkan posisi terus menerus menjajah dan melakukan intimidasi dengan berbagai strategi yang mendukung tujuan penjajahan tersebut. Di sinilah kiranya rakyat Korea tidak akan menemukan kemenangan yang diharapkan sebagaimana citra Hari Matahari yang digaungkan oleh pemimpinnya sendiri Kim Jong Un, melainkan hanya upaya melecutkan semangat optimisme saja di tengah-tengah kecaman intimidasi AS dan politik standar ganda Cina dalam mengamankan kedudukan maupun kepentingannya dikawasan Asia Pasifik.
*) Aktivis Gema Pembebasan Kota Bandung