REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Aji Teja H *)
Pada Rabu malam (19/4), Mike Pance, sampai di Jakarta untuk melakukan lawatannya sebagai bagian dari safari di kawasan Asia Pasifik setelah sebelumnya nengunjungi Korea selatan dan Jepang. Pada dua agenda sebelumnya, Mike Pance terus melanjutkan ‘eksploitasi’ atas suasana disemenanjung Korea. Pada kunjungannya di Korea Selatan, Mike memberikan kecaman untuk mengarahkan militer dalam menghadapi aksi ‘bandel’ korut.
"Ada kalanya kami menerapkan strategi untuk menghadapi Korea Utara dengan kesabaran, namun waktu bersabar itu sudah habis," demikian pernyataan Mike (17/4). Retorika tersebut terus berulang dalam rangkaian kata yang berbeda, dimana pada dasarnya AS tampak hendak melakukan penyerangan akan tetapi seolah ada ruang yang menahan AS itu sendiri. Entah itu dari dalam, atau dari luar kebijakan AS.
Selaras dengan apa yang dikatakan Mike di Korea Selatan, Mike turut berteriak retorika yang sama. Melanjutkan narasi eksploitatif atas suasana panas di semenanjung korea dengan mengatasnamakan keamanan kawasan, Jepang. Tidak tanggung-tunggung AS mengambil legitimasi internasional melalui bualan Mike bahwa koalisis AS dan Jepang adalah pondasi kedamaian di kawasan Asia Timur Laut.
Memang benar, dari sisi kekuatan kedua negara memiliki potensi pegendali atas kawasan, terlebih Abe telah melakukan revisi undang-undang perang di Negaranya. Pola defensif militer telah dikembalikan agar militer Jepang terbuka atas setiap medan pertempuran sejak 29 Maret 2017. Kondisi ini memungkinkan Jepang untuk turun lapangan, namun tetap saja direduksi dibawah pengaruh sumpalan titah AS untuk memperkukuh taring AS di kawasan Asia Pasifik.
Jika demikian, upaya mengatas-namakan kedamaian kawasan belum dapat dibenarkan, mengingat aliansi ini terus memperkeruh keadaan kawasan sendiri dengan pihak yang memihak yang mana. AS dalam konteks ini telah membuat catatan merah atas kedamaian diberbagai wilayah yang justru memberedel kedaulatan negara-negara dan menyusupkan prajuritnya untuk menghancurkan berbagai negeri.
Terlepas dari hal itu, Jepang dan Korea Selatan menjadi alas yang diinjak demi mengarahkan moncong senjata AS ke arah Korut. Jepang dengan perubahan dalam aturan main negaranya dan Korea selatan dalam masa kekosongan kekuasaan (pemerintahan sementara) telah menjadi kondisi lengang bagi AS dalam ‘mengobok-obok’ dua negara ini sebagai penyambung retorika eksploitatif itu atas kawasan semenanjung Korea Utara.
Dari apa yang dapat dilihat sejak pernyataan Tillerson sejak masih sebagai calon Menteri Luar negeri AS diawal tahun, upaya eksploitasi kondisi kawasan ini menjadi hal yang dapat ditengarai arahnya dan peruntukannya. “Kami akan mengirim sinyal kepada Cina, Pertama menghentikan pembangunan di pulau-pulau itu, kedua tidak memperkenankan akses masuk ke pulau-pulau itu” Begitulah Statement Tillerson.
Serangkaian safari di kawasan tersebut turut dilakukannya dan pengkondisian ke Beijing hingga penekanan masalah perdagangan di Florida terhadap Xi oleh Trump. Maka, bisa dipastikan moncong senjata AS tidak serta merta hanya menikam Korut, tetapi memantul kepada aktor negara yang lain.
Sebelum lawatan Mike ke Indonesia, pada 18 April 2017, pengerahan marinir AS dilakukan ke pangkalan AS Darwin untuk melakukan latihan militer. Walaupun hal ini merupakan agenda yang rutin dilakukan sejak deklarasi Obama atas penguatan kendali dikawasan Asia Pasifik, pengerahan ini mendapatkan momentumnya ditengah dua aksi.
Pertama kondisi kawasan semenanjung korea yang tereksploitasi oleh rekayasa AS dan kedua adalah berkunjungnya Mike ke Indonesia pasca-pengerahan pasukan ke Darwin. Dua kondisi ini telah mengaburkan anggapan bahwa kunjungan Mike ke Indonesia tidak ada hubungannya dengan pengamanan hegemoni dikawasan asia pasifik sehingga terpalingkan kepada problem dalam negeri yang ciut seputar masalah Freeport. Padahal, upaya mengarak militer untuk memusat kepada eksploitasi atmosfir semenanjung korea perlu dipertanyakan hingga mesti melebar kepada kawasan Asia Tenggara terlebih bagian selatan Indonesia, yakni Darwin.
Aktivitas penurunan marinir ini bukan kali pertama ini saja, sebelumnya AS memperbanyak pesawat militer di Australia (25/1/2017). Memang sudah disepakati rekatnya kerja sama AS dan Australia telah menjadikan kawasan tersebut sebagai basis operasi AS apalagi untuk mendukung pengkondisian kawasan. Momen penambahan marinir inilah yang membuat tanya atas hubungan panasnya isu eksploitatif Korea Utara.
Untuk apa melintang begitu jauh basis-basis militer dikerahkan AS hingga Australia bila poros panasnya hanya disemenanjung korea? Jawaban akan hal ini dapat ditarik akan upaya AS menanamkan pesawat pengebom jarak jauh AS B-1 Lancer di Darwin. Langkah inilah yang menuai kritik dari Cina.
Jika demikian, pengerahan yang melintang jauh ini telah melintas pada pusat persoalannya di bagian bawah semenanjung Korea yakni problem perariran Laut Cina Selatan. Meski latihan yang berlangsung di Australia melibatkan tentara Cina, tampaknya telah mengaburkan masalah ini dalam kacamata publik. Akan tetapi upaya AS menekan Cina dalam masalah LCS tidak bisa dinafikan lagi.