REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Sururum Marfuah Hash *)
Ini bukan soal bagaimana orang tua harus memenuhi semua keingian anaknya, tapi bagaimana orang tua bisa memenuhi kebutuhanya, menjaga martabatnya, serta melindungi kehidupannya. Bukan hanya orang tua dan saudara, namun semua komponen masyarakat yang ada termasuk negara.
Kini, ancaman demi ancaman terus menerus menghantui masa depan anak bangsa yang tanpa disadari, ini semua, dirancang secara strategis, sistematis, dan penuh taktis. Dunia telah membaca bahwa bonus demografi yang kini dialami Indonesia sedang menakuti dunia asing dimana penduduk mereka kini semakin berkurang, seperti Jepang dan Korea Selatan.
Bahkan, dalam tulisannya, George Friedman sebagai founder dan chairman of Geopolitical Futures mengakui, bahwa kebanyakan negara yang berada di Eropa mengalami penurunan populasi penduduk terkhususnya Jerman dan Rusia.
Anak adalah aset berharga yang kini sedang berada dalam ancaman. Inilah yang saat ini sedang diusahakan oleh asing bagaimana agar bisa membunuh karakter anak bangsa dengan menciptakan berbagai hiburan. Baik itu teknologi, film, permainan, dan bahkan wisata. Ini semua sebagai pengalihan fokus bagi si kecil agar tidak menggunakan daya berpikir kritis mereka.
Perlahan tapi pasti, tanpa sadar si anak menyukai apa yang mereka suguhkan dan akhirnya memiliki ketergantungan sehingga waktu dari sang anak tersita. Inilah tahapan mereka untuk bisa menguasai hati sang anak. Negara maju itu memang memiliki kemajuan dalam teknologi dan ekonomi, namun mereka mengalami krisis moralitas. Mulai dari tingginya angka bunuh diri, pelegalan LGBT, maraknya seks bebas, hingga tersebarnya miras sebagai bukti dari krisis moralitas negeri-negeri maju.
Penjajahan ala globalisasi
Globalisasi yang menjunjung tinggi provit, kini telah menjelma menjadi alat penjajahan bagi sang anak yang diperantarai oleh gadget dan film kartun. Pertanyaanya adalah apa yang sedang mereka incar dari semua ini? Tentu lagi-lagi uang dan uang, jika anak bangsa berpikir kritis dan cerdas tentu mereka para penjajah asing akan kelabakan karena kelak yang menjadi pemimpin adalah orang-orang yang kuat dan tidak mengizinkan mereka untuk menjarah dan mengeksploitasi Indonesia. Dengan pengarusutamaan gadget, film kartun, game, dan wisata, sang anak dialihkan daya kritisnya agar fokus dan tidak berpikir jauh ke depan.
Selain itu, berbagai upaya stategis Barat untuk memasukkan kebiasaan buruknya kini telah berhasil. Norma-norma berperilaku kini telah rusak akibat dari tontonan yang jauh dari penyaringan yang kuat. Bagaimana mungkin dengan mudahnya iklan-iklan yang hampir menunjukkan seluruh bagian tubuhnya terus diulang berkali-kali. Hal ini tentu berbahaya, karena sang kecil akan mengira bahwa mengumbar bagian tubuhnya itu biasa dan boleh-boleh saja. Ditambah lagi, film kartun yang mengajarkan pada kekerasan serta mengajarkan pada dunia-dunia ajaib yang tidak mungkin akan mereka hadapi.
Mengembalikan peran starategis keluarga
Tidak dapat dipungkiri bahwa keluarga memiliki peran strategis dalam pembentukan karakter pada anak. Peran strategis ini dapat terwujud dengan terlebih dulu memahami potensi si anak. Setiap anak memiliki karakter, kebiasaan, dan pemikiran yang berbeda namun semua itu dapat dibentuk ketika si anak masih pada tahap pertumbuhan.
Pada tahap pertumbuhan ini yakni berkisar pada usia 0-12 tahun, orang tua memiliki andil besar dalam memasukkan nilai-nilai kehidupan yang dapat terlebih dulu dimulai dengan penanaman pemahaman terhadap Tuhan dan agama karena pada dasarnya manusia itu memiliki kebutuhan untuk menyembah sesuatu. Pada tahap ini pula orang tua dapat memasukkan nilai-nilai moral dan kebiasaan yang sesuai dengan masyarakat seperti bertingkah laku sopan, ramah, serta rajin.
Selain itu, pada tahap pertumbuhan ini, si anak juga perlu untuk dilatih jiwa kritisnya terhadap suatu fenomena. Mengajarkannya untuk memiliki visi besar dengan menceritakannya tokoh-tokoh berpengaruh didunia seperti ilmuwan dan para penakluk dunia. Hal ini sebagai upaya untuk menaikkan tahap berpikir bangsa. Bukan dengan cara memberikan dongeng fantasi yang justru membuat mentalnya semakin turun karena dari kecil saja sudah diajarkan kepada hal-hal yang tidak nyata.
Negara sebagai activator of law
Peran keluarga diakui memang sebagai benteng pertama dalam perlindungan anak saat sedang berada di rumah, namun perlu diingat bahwa semua itu tidak akan pernah terjamin karena sang anak juga akan keluar dari rumah, itu artinya sang anak akan bergaul dan berbaur dengan orang lain yang dalam hal ini orang tua tidak memliki akses pengontrolan sepenuhnya. Mengingat orang tua juga perlu untuk mencari nafkah bagi keberlangsungan kehidupan dan pendidikan sang anak.
Negara sebagai activator of law memiliki peran besar untuk bisa megendalikan dan menyelesaikan permasalahan yang kini mengancam para ibu dari calon aset bangsa. Ibu yang lebih dikenal memiliki kedekatan terhadap anak kini justru menjadi target perekrutan bagi perusahaan asing untuk bisa memeperkerjakan para ibu menjadi buruh. Lagi dan lagi alasannya adalah ekonomi, akibat dari pengalihan fungsi ibu menjadi buruh ini tentu akan berpengaruh besar terhadap pemberian pengawasan bagi sang anak.
Negara perlu menjaga anak bangsa ini dengan cara menghancurkan segala sesuatu yang berpotensi untuk menghancurkan akal dan pemikiran bangsa. Tentu tidak akan mungkin akan terlaksana jika hanya dilaksanakan sebagian, sebagai contoh adalah gencarnya pemerintah kini melakukan sosialisasi dengan mendatangi sekolah demi sekolah untuk mengajarkan budi pekerti luhur.
Namun, negara lupa untuk memberantas bahkan mengendalikan pornografi yang dengan mudah dapat diakses oleh sang anak. Sehingga perlunya penyelesaian secara menyeluruh yakni adanya keseimbangan dalam melakukan sosialisasi dan pemusnahan pornografi, narkoba, film yang berbau kekerasan, serta game-game yang tidak mendidik lainnya.
Membentuk aliansi terintegrasi
Ancaman yang saat ini sedang mengincar aset bangsa yaitu sang anak membutuhkan pengintegrasian dari berbagai komponen masyarakat yakni keluarga, negara, serta masyarakat untuk membentuk aliansi sebagai senjata yang kuat untuk bisa melawan ancaman besar yang juga di rencanakan oleh pihak asing. Karena, pada hakikatnya, harimau pasti akan memangsa rusa yang sendirian, seperti ini pula lah urgensi persatuan dalam melawan paham-paham asing yang ingin menyebarkan krisis moralitasnya.
*) Mahasiswa Institut Pertanian Bogor