REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Mashun Sofyan *)
Indonesia dikenal sebagai negara berkembang di dunia ketiga yang berusaha membangun perekonomian negara, utang demi hutangpun menjadi agenda rutin tahunan. Dari data Kementerian Keuangan, jumlah utang pemerintah di akhir tahun 2014 adalah Rp 2.604,93 triliun, dan naik hingga posisi di akhir April 2017 menjadi Rp 3.667,41 triliun.
Selama kurang lebih 2,5 tahun pemerintahan Presiden Jokowi berjalan, jumlah utang pemerintah Indonesia bertambah Rp 1.062 triliun. Negara darurat utang, hutang pemerintah 2,5 tahun Jokowi setara dengan 5 tahun masa SBY.
Walaupun utang ribawi ini semakin menumpuk, bahkan tidak mampu untuk dilunasi, jangankan dilunasi untuk membayar bunganya saja kesulitan. Dengan hutang memuncak, akan tetapi fakta di masyarkat ternyata jauh dari harapan. Rakyat semakin miskin, pengangguran produktif membanyak, kesenjangan ekonomi serta ketimpangan berjarak jauh.
Beberapa hari lalu listrik naik, subsidi kereta ekonomi juga sempat naik, harga barang-barang menaik khususnya menjelang bulan ramadhan. Fasilitas pelayaan publik berupa pendidikan juga masih mahal, angka putus sekolah tinggi, kesehatan masih terasa mahal, BPJS kesehatan telah menimbulkan masalah baru, keamanan justru sulit didapatkan yang ada hanya ketidakadilan dan kegaduhan negara. Sandang pangan papan begitu sulit didapatkan oleh kalangan miskin serta menengah.
Mengapa hutang menjadi salah satu sumber andalan utama dalam pembangunan ekonomi negara atau APBN? Padahal, Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah, memiliki tambang emas terbaik didunia, cadangan minyak, gas, perak, tembaga serta batu bara melimpah, sumber daya hayati dilautan melimpah, kesuburan tanah, flora dan fauna. Ironi di negeri yang memiliki kekayaan alam melimpah ruah, namun gagal dalam mengelola hasil bumi sehingga masyarakat jauh dari kesejahteraan yang diharapkan.
Dalam perspektif sistem ekonomi liberal utang dan pajak menjadi sumber andalan utama pembangunan ekonomi, maka menjadi wajar jika hutang demi hutang menjadi tonggak utama APBN dalam pembangunan ekonomi di negara-negara yang menganut ekonomi liberal, selain menariki pajak yang terus naik angkatnya.
Utang ini tentu tidak gratisan, namun ada kepentingan tertentu dibaliknya yakni menguatkan cengkraman asing dalam pengelolaan SDA di negara yang diberikan hutang. Politik saling sandera berjalan mulus dengan strategi ini. Inilah strategi negara-negara kapitalis penjajah menjebak negara-negara berkembang seperti Indonesia yang memiliki SDA begitu melimpah, mengeksploitasi SDA menjadi agenda utamanya, setelah mengeksploitasi SDA maka mereka menjadikan negera berkembang menjadi target pasar mereka. Inilah bentuk jebakan penjajahan gaya baru (neoimperialisme) yang amat mematikan.
Dalam perspektif Islam, bukan utang apalagi pajak yang menajadi sumber APBN, tapi hasil dari sumber daya alam yang sejatinya milik rakyat untuk dikelola negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat. Selain negera mendapatkan pemasukan dari sumber-sumber lainya, hal inilah yang membedakan dengan perspektif ekonomi liberal dimana kekayaan alam malah justru dijual kepada asing maupun aseng.
*) Analis Muslim Analyze Institute [Main] bidang Politik Ekonomi