Senin 06 Nov 2017 04:03 WIB

Menyoal Perempuan dan Terorisme

Maulia Rahma Fitria, Mahasiswi Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Malang.
Foto: dok. Pribadi
Maulia Rahma Fitria, Mahasiswi Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Malang.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Maulia Rahma Fitria *)

 

Terorisme dalam beberapa tahun belakangan masih menjadi persoalan yang sangat krusial dan hampir menjadi bahan pembuatan kebijakan terkait keamanan nasional di beberapa negara di dunia, termasuk Indonesia. Dalam perkembangannya, konsep terorisme masih terdapat perdebatan dalam pendefinisiannya, bahkan belum ada definisi yang disepakati terkait konsep ini.

Menurut MC Pande, terorisme dapat didefinisikan sebagai penggunaan ancaman atau penggunaan kekerasan untuk tujuan politik ketika tindakan tersebut dimaksudkan untuk mempengaruhi sikap dan perilaku kelompok sasaran selain korban langsungnya. UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Terorisme juga memaparkan bahwa terorisme adalah penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan situasi teror atau rasa  takut terhadap orang secara meluas dan menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas harta benda orang lain, yang mengakibatkan kerusakan atau kehancuran obyek-obyek vital strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik dan fasilitas internasional.

 

Dalam melakukan aksinya, kelompok teroris melakukan perekrutan kepada para anggota dan simpatisannya tanpa melihat gender dan kebangsaan. Dengan berbagai macam propagandanya, mereka telah berhasil menarik minat laki-laki maupun perempuan dan bahkan anak-anak untuk melakukan aksi-aksi yang dapat mendukung tujuan politik mereka.

 

Pergeseran peran

Ketika membahas mengenai perempuan dalam pusaran isu jaringan terorisme, perempuan merupakan korban sekaligus aktor dalam waktu bersamaan. Berdasarkan data yang dirilis oleh Kementerian Sosial, dari 161 orang yang dideportasi, 49 adalah perempuan dan 40 lainnya adalah anak perempuan. Kemudian, Densus 88 juga menyebutkan, bahwa 8 perempuan di penjara di bawah UU Terorisme. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa adanya pergeseran peran perempuan dari agen domestik dan sub-ordinat ke agen radikal atau kekerasan.

 

Perempuan telah menjadi korban ideologi, indoktrinisasi, stigmatisasi, media dan konflik akibat dari terorisme. Secara umum, cara-cara yang biasa mereka lakukan mengenai bagaimana untuk bergabung dalam sebuah jaringan terorisme di antaranya melalui pernikahan, pertemanan, proses peribadatan, media sosial dan lain sebagainya.

 

Dalam konteks bergabungnya mereka ke dalam jaringan Jamaah Islamiyah (JI) dan ISIS misalnya, motivasi dibalik bergabungnya mereka ke dalam jaringan tersebut diantaranya karena merasa agamanya (Islam) ditindas, adanya ketidakadilan sosial, menginginkan kembalinya kejayaan Islam di masa lalu (glorification), adanya figur-figur yang menginspirasi, dan lainnya. Adapun kalangan yang biasa direkrut ke dalam jaringan tersebut diantaranya ibu rumah tangga, pelajar, pekerja migran, dan perempuan yang mengalami keretakan rumah tangga.

 

Perempuan sebagai korban kerapkali mendapatkan kekerasan seksual melalui adanya poligami, perempuan dijadikan istri jihadis oleh organisasis dengan menggunakan alasan agama, adanya perlakuan perempuan sebagai komoditas, objek hasrat seksual, dan perkawinannya dijadikan alat untuk memperluas jangkauan teritorial kelompok atau memperluas jaringan terorisme.

 

Perempuan sebagai aktor

Keterlibatan perempuan dalam terorisme di Indonesia sendiri dapat dilihat pada akhir 2016, Densus 88 Antiteror Kepolisian RI menangkap Dian Yulia Novi yang merencanakan sebuah serangan di istana kepresidenan di Jakarta dan telah menjadi radikal melalui media sosial ketika berada di Taiwan. Kemudian, Ika Puspitasari (Salsabila) ditangkap di Purworejo karena diduga terlibat tindak pidana terorisme. Jumiatun Muslim, istri Santoso, ditangkap di Desa Tambarana, Kecamatan Poso Pesisir Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Seperti yang terjadi pada Jumiatun (istri Santoso, teroris Poso), Nurmi Usman (istri Basri) dan Tini Susanti Kaduku (istri Ali Kalora) ketiganya merupakan perempuan yang terlibat dalam aksi terorisme bersama suami mereka.

 

Bahkan, di kawasan Asia Tenggara sendiri kita juga melihat bagaimana keterlibatan perempuan dalam terorisme, seperti Syaikhah Izzah Zahrah Al Ansari (Singapura) yang berniat untuk menikahi seorang pejuang atau pendukung ISIS, ingin menerima pelatihan militer untuk terlibat dalam pertempuran bersenjata. Dr Shams (Malaysia) bergabung dengan ISIS di Suriah, meluncurkan blognya berjudul The Diary of a Muhajirah - menyebut dirinya sebagai 'Bird of Jannah' dan Karen Aizha Hamidon (Filipina) menggunakan media internet dan sosial untuk menyebarkan propaganda ekstremis Islam & merekrut Kelompok Foreign Terrorist Fighters (FTF).

 

Secara kultural, dalam budaya patriarki perempuan akan sangat patuh terhadap suami dalam kondisi apapun. Merekrut perempuan dengan cara menikahi menjadi modus dalam perekrutan perempuan. Selain itu, perempuan banyak dianggap lebih mudah terpengaruh terutama yang memiliki masalah dalam keluarga dan ekonomi. Pilihan terhadap perempuan juga memiliki aspek strategis-taktis. Perempuan sebagai pelaku teror akan mengecoh aparat penegak hukum karena selama ini pelaku teror identik dengan laki-laki.

 

Propaganda jaringan terorisme yang sangat masif dan model perekrutan melalui media sosial memberikan harapan bagi para perempuan untuk berhijrah ke wilayah dimana jaringan terorisme tersebut berkembang. Hal ini disebabkan karena mereka merasa bahwa jaringan tersebut dapat mengakomodasi berbagai keluhan, ketidakpuasan hidup di bawah nilai-nilai yang tidak Islami, rasa ketidakdilan yang dirasakan di negara asal, keinginan untuk menikmati kehidupan di bawah Khilafah Islam sebagai bagian dari amaliyah maupun janji ekonomi berupa gaji tinggi dan segala fasilitas gratis yang menggiurkan.

 

Namun, harapan mereka tidak sesuai dengan kenyataan ketika mereka sudah berada di bawah kekuasaan jaringan terorisme tersebut. Perempuan menjadi objek seksual, objek untuk memperluas kekuasaan dan clan, komoditas yang dapat diperjualbelikan dan korban atas berbagai kekerasan.

 

Para deportan perempuan memiliki berbagai motivasi yang tidak dapat digeneralisasi namun secara khusus mereka memiliki tiga motivasi utama yaitu terpapar ideologi radikal, pertanyaan tentang identitas diri atau pencarian jati diri  dan harapan untuk hidup dalam Khilafah yang didukung oleh faktor pendukung yaitu akses terhadap konten radikal,  penggunaan media sosial dan beban finansial.

 

Setidaknya, dari adanya fakta-fakta keterlibatan perempuan dalam terorisme ini, ada harapan dipundak perempuan sebagai aktor dan juga Agent of Disengagement (dari lingkaran pelaku kekerasan ekstrimisme dan mantan pelanggar), melakukan strategi soft approach untuk mempromosikan kemanusiaan daripada keamanan, turut terlibat dalam mendekonstruksi pemikiran perempuan yang lain, dan juga memberi dukungan serta mendengar suara mereka (Agent of Peace).

 

*) Mahasiswi Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Malang.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement