REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Rifan Abdul Azis *)
LGBT bisa dibilang sebagai gerakan kelas dunia. Mereka semakin ramai semenjak Mahkamah Agung Amerika Serikat melegalkan pernikahan sejenis di 50 negara bagian pada tahun 2015. Semenjak saat itu, pergerakan LGBT di seluruh dunia semakin naik kepermukaan. Mereka semakin percaya diri dan tidak lagi malu-malu menunjukan eksistensi.
Lesbian, gay, bisexual, dan transgender adalah perilaku menyimpang sebagaimana pedofilia. Pendapat inilah yang penulis pegang dari banyak pendapat mengenai LGBT. Kenapa? Karena dalam diri manusia ini ada naluri untuk saling mengasihi dan mencintai.
Naluri ini harus dipenuhi agar manusia bisa merasa tenang. Tapi, pemenuhan naluri ini berpotensi menyimpang bila akal tidak terkendali dan pemikirannya menyimpang. Kita menyayangi anak-anak itu adalah penampakan naluri kasih sayang. Tapi, mencabuli anak-anak adalah penyimpangan.
Kita menyayangi sahabat kita walaupun sesama jenis adalah penampakan naluri kasih sayang, tapi menyodomi sahabat sesama jenis adalah penyimpangan walaupun suka sama suka, bahkan itu adalah perbuatan keji.
Ketika kita menyukai lawan jenis itu adalah penampakan naluri kasih sayang. Tapi, ketika menyukai sesama jenis layaknya menyukai lawan jenis (bisex, gay, dan lesbi), maka itu adalah penyimpangan. Laki-laki dan perempuan itu secara biologis berbeda dan dengan perbedaan inilah mereka bisa saling membantu dalam kehidupan dan dengan perbedaan ini manusia terus lestari.
Tetapi, ketika laki-laki merasa dirinya perempuan itu adalah penyimpangan begitupun sebaliknya. Ketika laki-laki menghabisi alat vitalnya dan membesarkan dadanya seperti payudara perempuan tidak menjadikan laki-laki itu seorang perempuan, dia tetap laki-laki walaupun sudah raib alat vitalnya dan kacau karakternya.
Kenapa penyimpangan-penyimpangan tersebut bisa terjadi? Selain karena akal yang tidak terkendali penyimpangan ini juga terjadi karena pandangan yang salah atau pemikiran yang rusak tentang kehidupan. Kita ambil contoh masyarakat Barat yang menganggap LGBT adalah hal normal seperti Amerika Serikat, Belanda, Prancis dan sebagainya.
Pandangan hidup atau pemikiran masyarakat di negara-negara tersebut adalah sekuler. Mereka beranggapan bahwa manusia adalah pihak tunggal yang paling berhak membuat dalam kehidupan dan keterlibatan agama harus dijauhkan dalam hal ini.
Karena manusia adalah pihak tunggal yang paling berhak membuat aturan, maka kebebasan manusia harus dilindungi. Kebebasan tersebut ialah kebebasan beragama, kebebasan berbicara, kebebasan kepemilikan, dan kebebasan pribadi.
Di atas asas inilah kehidupan masyarakat Barat berjalan. Namun, akibatnya ternyata kebebasan beragama menyebabkan masyarakat jauh dari agama, kebebasan berbicara menyebabkan banyak kesesatan, kebebasan kepemilikan menyebabkan kesenjangan kekayaan akut dan lahirnya kaum kapitalis, lalu kebebasan pribadi menyebabkan seks bebas yang berujung pada LGBT.
Memang benar diawal masyarakat Barat menilai LGBT adalah perbuatan menyimpang. Itu karena fitrah murni dan sehat manusia pasti menolak LGBT. Tapi, penilaian tersebut tidak memiliki argumen kuat bila berdasarkan pandangan hidup masyarakat Barat itu sendiri yang mengagungkan kebebasan terutama kebebasan pribadi.
Itulah kenapa kampanye LGBT di negara Barat bisa dikatakan berhasil karena pada dasarnya pandangan hidup Barat atau pemikiran mereka (sekulerisme) bisa membenarkan perilaku LGBT.
Selain itu juga seks bebas ataupun pergaulan bebas merupakan pintu masuk utama seseorang bisa menjadi LGBT. Mereka yang sudah merasa bosan dengan pasangan seks lawan jenis akan coba-coba atau mencari pemuasan lain dengan seks sesama jenis.
Setelah itu lama-lama LGBT atau hubungan seks sesama jenis menjadi suatu kebiasaan. Pada akhirnya kebiasaan ini menular sebagaimana layaknya sebuah perilaku bisa menular.
Contohnya adalah bila kita berteman dengan orang yang suka mengkonsumsi narkoba, maka ada kemungkinan kita akan meniru perilaku mengkonsumsi narkoba tersebut. Begitupun dengan perilaku LGBT, bila orang yang sebelumnya normal lalu berteman atau bersentuhan dengan pelaku LGBT maka ada kemungkinan orang tersebut akan meniru dan menerima perilaku LGBT tersebut.
Penularan dan penerimaan perilaku ini akan berjalan mulus bila tidak ada hambatan. Hambatan utama penularan dan penerimaan perilaku LGBT adalah pemikiran yang sehat (benar) tentang hidup dan akal yang masih normal. Maka dari itu, pemikiran yang rusak tentang hidup (sekulerisme) sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya merupakan bagian penting kampanye untuk penularan dan penerimaan perilaku LGBT.
Dari cara pandang yang kaffah inilah seharusnya kita melihat LGBT. Yaitu cara pandang yang diawali dari suatu hal yang mendasar, yakni melihat dan menilai pemikiran atau pandangan hidup yang melandasi diterimanya perilaku LGBT.
Sekulerisme sendiri memang dipropagandakan oleh Barat keseluruh dunia. Maka dari itu, ketika kita membicarakan LGBT, kita harus paham pemikiran ini. Baik ketika kita berada di forum-forum ataupun ketika hendak menghukumi perilaku LGBT. Itu semua agar kita bisa memproteksi diri dan akal dari propaganda sekulerisme.
Pemikiran yang rusak ini (sekulerisme) bisa saja terselip atau diselipkan dengan cover yang berbeda-beda. Misalnya ketika ada seorang LGBT mengutip ayat al-Qur’an yang menurutnya membolehkan LGBT. Sudah pasti pendapatnya tersebut sesat karena dilandasi oleh sekulerisme dan bukan dilandasi oleh Islam, ayat Alquran hanya dijadikannya sebagai dalih.
Selain memahami pemikiran yang rusak (sekulerisme) untuk memproteksi diri dan menjaga akal, kita jagu harus mengetahui pemikiran yang benar tentang hidup agar proteksi kita menjadi sangat kuat dan tidak mudah goyah ketika diserang pemikiran yang menyimpang.
Penulis sendiri sebagai seorang Muslim sangat yakin kalau pemikiran yang benar tentang hidup hanyalah Islam. Hanya dengan Islam kita akan bisa konsisten dan kuat menolak perilaku LGBT. Itu karena Islam mewajibkan pengikutnya untuk taat pada syariat secara penuh. Penulis tidak menjamin kalau pemikiran atau pandangan hidup lain bisa kuat dan konsisten menolak perilaku LGBT.
Maka dari itu, bila memang kita menolak perilaku LGBT, maka perkuatlah diri kita dengan Islam. Bila kita ingin melindungi anak-anak kita dari LGBT, maka binalah anak-anak kita dengan Islam dan perhatikan dengan baik lingkungan anak-anak kita. Begitupun juga bila kita ingin menjaga masyarakat dan negara dari LGBT, maka jagalah masyarakat dan negara dengan Islam.
*) Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia